Regulasi

Derom Bangun: Eropa Terus Mendiskriminasi Sawit Indonesia

Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun

MEDAN-Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun mendukung sepenuhnya langkah pemerintah pusat yang dengan tegas menolak semua upaya diskriminasi yang dilakukan Komisi Eropa melalui mekanisme pembahasan The Renewable Energy Directive II (RED II) dan Indirect Land Use Change (ILUC).

Sebab, baik RED II maupun ILUC, menurut Derom Bangun, hanyalah akal-akalan pihak Eropa untuk mendiskriminasi minyak sawit dari minyak nabati lain di dalam perdagangan internasional.

Hal itu dikatakan Derom Bangun kepada para wartawan di Medan, Senin, 28 Januari 2019 malam. "Upaya (diskriminasi terhadap sawit -red). itu tercermin pada konsep yang diajukan mengenai RED II dan ILUC yang akan menggolongkan minyak sawit sebagai beresiko tinggi. Sedangkan minyak nabati lain digolongkan berisiko rendah terhadap deforestasi," kata Derom.

Karena itu pihaknya sangat mendukung pemerintah yang menyatakan dengan tegas tidak akan melibatkan diri atau pun ikut di dalam setiap pembahasan atau diskusi mengenai RED II dan ILUC yang diselenggarakan baik di dalam maupun di luar Indonesia.

"Selanjutnya kami dari DMSI juga menghimbau dan mengajak semua asosiasi anggota DMSI untuk mengambil sikap yang sama seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia," kata Derom.

Ada Pasar Dalam Negeri

Dilansir dari kontan.co.id disebutkan kalau Uni Eropa akan mengimplementasikan kebijakan yang berpotensi mengurangi perdagangan bahan bakar nabati bersumber sawit pada Februari depan. Namun demikian, pengusaha yakin Indonesia tidak harus khawatir karena masih ada pasar lebih besar terutama dari dalam negeri.

Direktur Eksekutif DMSI Sahat Sinaga menjelaskan, implementasi regulasi tersebut bisa mengakibatkan ekspor biodiesel Indonesia di kisaran 3 juta ton setahun jadi berkurang.

Padahal, dalam RED II ini juga menetapkan bahwa dalam periode tahun 2020-2030, UE wajib memenuhi 32% kebutuhan energinya dari sumber terbarukan. Artinya, UE tetap membutuhkan sumber bahan bakar nabati, namun tidak boleh dari sawit.

"Kita tidak setuju dengan kontroversi parameter yang mereka lakukan. Tapi apakah Indonesia mati dengan mereka tidak beli ke kita, juga tidak karena kita sudah ada ada program energi hijau sendiri," jelas Sahat, Minggu (27/1).

Dalam catatannya, volume ekspor minyak kelapa sawit (CPO) dan pada Eropa untuk tahun 2018 lalu diperkirakan mencapai 4,2 juta ton di mana sebanyak 75% adalah untuk bahan biodiesel. Sedangkan sisa 25% untuk kebutuhan pangan.

Bila UE benar-benar mengimplementasikan kebijakan tersebut maka ekses di kisaran 3 juta CPO yang biasanya diolah Eropa menjadi biodiesel bisa diserap ke pasar dalam negeri.

Ingat saja, Indonesia sendiri sedang membangun roadmap energi hijau dengan membangun kilang green energy di Plaju, Dumai dan Cilacap.

"Pilot project sudah berjalan di Plaju, Maret nanti di Dumai, Agustus di Cilacap untuk avtur dan 2020 nanti kita akan full speed gunakan bahan baku itu nabati untuk gantikan fosil," kata Sahat.

Memang, dalam catatan Kontan, PT Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB) akan mulai CPO menjadi BBM hijau alias green gasoline. Tapi bukan berarti Indonesia akan sepenuhnya keluar dari bahan baku mineral berbasis fosil.

Apalagi menimbang pertumbuhan lahan sawit dan produksi CPO belum tentu bisa memenuhi skala bahan bakar nabati hingga 100%. Oleh karena itu, Sahat melihat implementasi dari RED II oleh Eropa ini sejatinya tidak akan berdampak negatif pada perdagangan sawit Indonesia dan justru akan menjadi beban berat bagi Eropa.

"Eropa sebenarnya mengunci dirinya sendiri, mereka masih diwajibkan pemenuhan 32% dari pangan tapi tidak boleh sawit, padahal biaya pengolahan minyak rapeseed dan sunflower lebih mahal daripada sawit," jelasnya.(hen)

 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar