Humaniora

Tragedi Setan (75) : Ini Kisah Iblis dan Musa di Gunung Sinai

Salah satu bagian sentral dari tasin al-azal wal-iotlibas yang akan dibahas memperlihatkan pemakaian cerita mitos oleh Al-Hallaj untuk menggambarkan kepribadian Iblis.

Cerita ini mengisahkan tentang pertemuan antara Iblis dan Musa di Gunung Sinai. Ibnu Ghanim juga memasukkan sebagian besar dari isi cerita yang sama ke dalam karyanya sendiri, namun Al-Hallaj dan Ibnu Ghanim sangat berbeda dalam tujuan-tujuannya.

Ibnu Ghanim bertujuan untuk menggambarkan kesombongan dan tipu daya Iblis. Figur kosmik yang tragis, dengan keburukan batin telah menyebabkan kutukan abadinya terhadapnya.

Sedang -Hallaj bermaksud untuk menyoroti kebenaran yang paradoks bahwa pengutukan dan penurunan derajat dapat menjadi lambang kemenangan bagi orang-orang mistik yang secara total meleburkan diri dalam kontemplasi Yang Maha Pengasih.

Walaupun plot dasarnya tetap sama dalam kedua versi cerita itu, namun perhatian teologis yang berbeda dari masing-masing penulis telah membuat mereka berbeda.

Cerita bermula dengan gaya sama dalam kedua teks, Musa bertemu muka dengan Iblis. Itu setelah Musa bercakap-cakap dengan Allah di Gunung Sinai.

Musa bertanya kepada Iblis tentang penolakannya bersujud kepada Adam;.Iblis menjawab bahwa itu merupakan dedikasinya yang tulus terhadap monoteisme yang tidak akan membolehkan dia berpaling kepada yang lain selain Allah.

Iblis kemudian menegur Musa karena membiarkan dirinya terpikat untuk memandang gunung daripada memfokuskan perhatiannya kepada Allah semata.

AL-Hallaj meneruskan : Musa berkata kepadanya,"Engkau mengabaikan perintah Allah!"

Dia menjawab,"Itu hanyalah sebuah ujian, bukan sebuah perintah."

Dia berkata,"Tetapi tentu saja bentukmu telah mengalami banyak perubahan."

Dia (Iblis) menjawab," Wahai Musa, itu hanyalah tipu muslihat. Keadaan ini sama sekali tidak dapat dijadikan ukuran karena telah mengalami perubahan. Namun ma'rifat masih sama kuatnya seperti sebelum ini, sekali pun jasmaniah telah berubah."

Musa bertanya kepadanya,"Apakah engkau masih mengingat Allah sekarang ini ?"

Dia (Iblis) menjawab,"Wahai Musa ! Mengingat kepada-Nya adalah mengingatku, dan mengingatku adalah kepada-Nya;

Bagaimana mungkin orang yang mengingat tetapi menyekutukannya ?"

"Ibadahku sekarang lebih murni, waktuku lebih bebas, dan dzikr-ku lebih jelas. Karena aku dulu mengabdi kepada Dia untuk kepentinganku sendiri; sekarang aku mengabdi kepada Dia untuk Dia."

"Kami telah menghilangkan hasrat untuk kepentingan diri sendiri dari perbuatan-perbuatan pelarangan dan penolakan, kerugian dan keuntungan. Dia telah mengucilkan aku, mengisiku dengan kerinduan, membingungkan aku, dan mengusir aku agar tidak bergaul dengan orang-orang yang beriman. “

“Dia menolakku untuk bisa bergabung dengan orang lain karena hasratku yang penuh dengan kecemburuan. Dia mengubah bentukku karena kebingunganku; Dia membingungkan aku karena pengusiranku. Dia mengusirku karena pengabdianku. Dia membuat aku seperti sampah yang terbuang karena persahabatanku; Dia mencaci maki aku karena pujianku.”

“Dia memisahkan aku karena keterbukaan terhadap-Nya; Dia telah membuka jiwaku karena pencapaianku pada penyatuan. Dia telah menyebabkan aku pada penyatuan karena pengasingan diriku; Dia mengasingkan diriku untuk menggagalkan sasaran hasratku."

"Demi kebenaran-Nya! Aku tidak berbuat dosa terhadap ciptaan-Nya; aku tidak menolak rencana-Nya, aku tidak begitu memperhatikan perusakan bentukku, karena sepanjang kejadian-kejadian ini, aku mampu mengatasinya. Jika Dia harus menyiksaku dengan api-Nya selama-lamanya sampai akhir kelak, aku tidak akan bersujud kepada siapa pun.”

“Tidak juga aku akan merendahkan diri di hadapan siapapun atau tubuh jasmani mana pun, karena aku tahu tak ada musuh bagi-Nya, dan tidak juga Dia diperanakkan. Pengajaranku adalah pengajaran dari orang-orang yang berkata kejujuran, dan aku adalah seorang pecinta yang tulus.”

Dalam konteks tawasin, bagian ini tidak meninggalkan keraguan tentang perbedaan antara Ibnu Ghanim dan Al-Hallaj, terutama berkenaan dengan pendapat masing-masing pada keaslian pernyatan-pernyataan Iblis.

Namun, Ibnu Ghanim tidak sendirian dalam menerjemahkan percakapan Iblis ini sebagai suatu kepura-puraan, suatu godaan yang halus dan dikerjakan dengan terampil terhadap Musa oleh Iblis.

Al-Baqli, dalam penjelasannya tentang cerita ini, menyinggung pandangan Sufi yang dihormati sepanjang zaman, bahwa Iblis memiliki kekuatan memperlihatkan diri dalam pandangan-pandangan spiritual dalam upaya untuk menimbulkan keraguan pada orang-orang saleh tentang keaslian dari keadaan spiritualnya. (jss/bersambung)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar