Humaniora

Masjid Baiturrahman, Pusat Perguruan Tinggi Terbesar di Asia Tenggara

Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.

BANDA ACEH– Setelah melalui renovasi besar-besaran yang diresmikan Wakil Presiden Jusuf Kalla, tanggal 13 Mei 2017 lalu, Masjid kebanggaan masyarakat Aceh, Masjid Raya Baiturrahman kian bersolek. Daya tampungnya juga meningkat tiga kali lipat, dari angka 9.000 jamaah menjadi 24.000 jamaah lebih, baik di dalam maupun di luar.

Masjid Raya Baiturrahman saat ini juga telah menjadi Perguruan Tinggi terbesar di Asia Tenggara. Di sini , terdapat sekitar 15 jurusan pendidikan, baik agama maupun umum. Di bidang agama meliputi tafsir, perbandingan madzhab, hukum, bahasa dan sebagainya. Di bidang umum, mencakup kedokteran, kimia, matematika, pertambangan dan pertanian.

Ada juga ilmu politik, pemerintahan, sejarah dan filsafat. Pada masa itu, diajarkannya berbagai bidang yang begitu luas, bahkan terkesan modern, tidaklah banyak. Tak aneh kalau banyak warga dan pecinta ilmu di luar Aceh berbondong-bondong belajar ke sana.

Perubahan-perubahan fisik Masjid Raya yang kokoh berdiri saat tsunami menghantam Aceh Desember 2004 silam terus dilakukan. Bahkan saat ini, masjid ini dipercantik dengan 12 payung elektrik raksasa. Enam unit disisi utara dan enam ada di selatan masjid, seperti keelokan Masjid Nabawi, Madinah.

Selain 12 payung raksasa, pemerintah Aceh juga menghiasi pelataran masjid dengan hamparan batu granit, taman ciamik dan parkiran modren. Renovasi besar besaran itu menghabiskan biaya Rp 458 miliar.

Masijd Baiturrahman, sejak awal berdirinya telah mengalami banyak renovasi. Sayang, dari catatan sejarahnya, dan dari banyak tulisan tentangnya, tidak didapat kepastian kapan salah satu masjid termegah di Asia Trnggara ini didirikan.

Ada yang menyebut dibangun sekitar 1292 oleh Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah. Ada pula yang menyatakan didirikan pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pendapat lain adalah kompromi dari keduanya. Masjid dibangun oleh Johan Mahmud Syah, lalu dipugar oleh Sultan Iskandar Muda.

Sejak awal dibangun, selain untuk beribadah, masjid itu dijadikan pusat pengkajian dan pengembangan Islam. Semasa kepemimpinan Iskandar Muda, syiar Islam berkembang dengan pesat. Tak hanya di Aceh, tapi meluas ke berbagai daerah di sekitarnya.

Tak hanya itu. Dalam sejarahnya kemudian, masjid itu juga berfungsi sebagai benteng pertahanan pasukan Aceh. Itu bermula dari musyawarah penting pada 22 Maret 1873 yang diprakarsai oleh Sultan Alauddin Mahmud Syah. Inti musyawarah itu adalah menggalang kebulatan tekad dan menyampaikan pernyatan tegas bahwa Aceh menolak kehadiran bangsa Belanda di bumi Serambi Mekkah. Akibatnya, kaum kolonial Belanda naik pitam.

Seminggu setelah pernyataan sikap tersebut, penguasa Belanda di Batavia mengumumkan perang terhadap Aceh. Aceh pun diserang. Tak kalah, masyarakat Aceh merancang berbagai strategi dan taktik perang di Masjid Baiturrahman. Sebab itulah, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal Kohler segera mengepung Masjid Raya Baiturrahman. Sebab, dari masjid itulah perlawanan digerakkan. Bahkan, Belanda sempat membakar masjid tersebut hingga dua kali.

Pembakaran pertama terjadi pada 10 April 1873, setelah penyerangan besar-besaran yang dilakukan Belanda terhadap para pejuang Aceh. Tetapi para pejuang Aceh bahu-membahu memadamkan api yang berkobar, sehingga masjid berhasil diselamatkan.

Pembakaran dilakukan karena Belanda tak mampu menaklukkan Aceh. Dalam pertempuran itu, pihak Belanda mengalami kerugian yang amat besar. Mayor Jenderal Kohier tewas berikut perwira lainnya. Tercatat 397 orang prajurit dan 405 orang luka-luka.

Tewasnya sang Jenderal menyebabkan serdadu Belanda ditarik kembali ke Batavia. Setahun kemudian, tepatnya pada 6 Januari 1874, Belanda kembali menyerang Aceh dan berhasil merebut Masjid Baiturrahman.

Pasukan Belanda yang tengah kalap, segera membakar Masjid Baiturrahman. Masyarakat Aceh amat berkabung dan benar-benar kecewa atas perangai dan kelakuan bangsa penjajah itu. Belanda pun menyadari kekeliruannya.

Untuk menarik hati rakyat Aceh, pada tanggal 9 Oktober 1879, pemerintah Belanda membangun kembali Masjid Baiturrahman. Masjid yang dibakar itu direhabilitasi oleh Gubernur Militer Aceh, Jenderal K. Van Der Heijden.

Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Teungku Kadhi Malikul Adil. Rehabilitasi dengan menambah satu kubah, selesai dikerjakan pada 1881.

Pada 1935, karena kebutuhan yang mendesak, masjid diperluas. Setahun kemudian, oleh Residen Y. Jongejans, kubah masjid itu ditambah dua lagi, di bagian kanan dan kiri, sehingga menjadi tiga kubah.

Biaya perluasan itu mencapai 35.000 gulden. Arsiteknya adalah Ir. Mohammad Thaher (seorang putra Aceh) dan dikerjakan oleh Jawatan Pekerjaan Umum (BOW).

Pemugaran kembali dilakukan pada 1967 oleh Pemerintah daerah NAD. Dua kubah baru dibuat di bagian belakang. Dibangun juga dua menara dengan jumlah tiangnya yang mencapai 280 buah. Tahun 1992-1995 masjid kembali dipugar dan diperluas sehingga memiliki tujuh buah kubah dan lima menara. Setelah dipugar, masjid itu mampu menampung 10.000-13000 jema’ah.

Tepat di depan masjid, terdapat Menara Tugu Modal. Menara itu merupakan monumen pengingat bahwa Aceh pernah dinyatakan sebagai Daerah Modal di dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Menara itu berlantai enam, dapat dicapai melalui lift maupun tangga biasa.

Dari sini, dapat dilihat pemandangan kota Banda Aceh dan sekitarnya, yang dikelilingi oleh Pegunungan Bukit Barisan, dengan salah satu puncaknya, Gunung Seulawah Agam. Selain itu, tampak juga Selat Malaka.

Ketika badai tsunami menghantam Aceh pada Desember 2004, masjid itu kembali menampakkan “kelebihan”-nya. Di saat bangunan-bangunan lain porak-peranda, ia masih kuat berdiri.

Bayangkan saja, hanya berjarak 160 kilometer dari pusat gempa berkekuatan 9 skala Richter, masjid itu masih tegak kokoh. Padahal, menurut para ahli geografi, mestinya bangunan itu hancur. Hanya bagian taman di halaman masjid dan sebagian tempat wudlu yang mengalami kerusakan. Juga menara Tugu Modal. Sebab itulah, ribuan orang segera mengungsi ke masjid untuk menyelamatkan diri.

Pasca tsunami, masjid itu kembali difungsikan sebagai tempat ibadah dan kajian Islam. Tepatnya, pada 7 januari 2005, setelah dibersihkan, solat Jum’at diselenggarakan di masjid tersebut. Meski tak sekokoh dulu, masjid tersebut tetap menjadi daya magnetik dan kiblat pengkajian Islam bagi warga Aceh.

Memang, 15 jurusan pendidikan yang dulu berpusat di masjid itu sudah tak ada lagi. Sebab, fungsi itu sudah diambilalih oleh berbagai universitas yang berdiri di Aceh. Namun, masjid itu tetap melakukan fungsi pendidikan. Di situ terdapat Taman Pendidikan Al-Quran dan Madrasah Darussyariah. Ada 12 ruang belajar dan perpustakaan sebagai penunjang pelaksanaan pendidikan.

Merenungkan sejarah masjid tersebut, tak salah kalau masjid Baiturrahman selain disebut sebagai penyangga Aceh dimasa lalu, juga menjadi benteng melawan penjajah serta menjadi jangkar bumi atas bencana tsunami, tahun 2004 silam.(*)

 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar