Ekonomi

Petani Swadaya Paling Terpukul Akibat Kejatuhan Harga CPO

Harga minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) sedang jatuh di pasar internasional. Kondisi penuh ketidakpastian di pasar internasional itu tak ayal berdampak ke Tanah Air. 

Petani kelapa sawit di perkebunan rakyat, khususnya petani swadaya yang tidak bermitra dengan perusahaan manapun, menjadi pihak yang paling terpukul. Sebab, harga beli tandan buah segar (TBS) hasil produksi kebun mereka hancur lebur akibat harga murah hingga tak ada pembeli. 

Stok pabrik-pabrik kelapa sawit (PKS) masih penuh akibat ekspor yang lesu. Oversuplai terjadi. Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengungkapkan, harga riil pembelian TBS di tingkat petani saat ini di kisaran Rp 1.100/kg untuk petani plasma (yang bermitra dengan perusahaan) dan Rp 600/kg untuk petani swadaya.

"Itu harga di lapangan saat ini antara lain di Sumatera Utara, Jambi, dan Kalimantan Timur," kata Darto usai Rembug Nasional Petani Kelapa Sawit Indonesia di Jakarta, Rabu (28/11/2018). Harga itu tentu jauh dari harga acuan TBS yang ditetapkan pemerintah daerah setiap provinsi di kisaran Rp 1.200-1.400/kg. 

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang pun mengakui hal itu. Bahkan dari laporan petani, ada TBS yang bahkan dibeli dengan harga Rp 500/kg. 

"Jadi kita minta konsistensi, dengan ketiadaan pungutan [ekspor], supaya industri bisa menjamin membeli TBS rakyat seharga yang ditetapkan gubernur di masing-masing provinsi," ujar Bambang.

Sebagai informasi, pemerintah memutuskan untuk sementara waktu me-nol-kan pungutan ekspor CPO yang sebelumnya US$ 50/ton serta produk turunan. Langkah itu diharapkan dapat menstimulus ekspor supaya kembali bergairah dan mengembalikan oversuplai ke kondisi normal. Dengan demikian, TBS petani kembali terserap.

Bambang pun menjamin akan ada sanksi administratif dari masing-masing pemerintah daerah bagi industri yang menolak membeli TBS sesuai harga acuan provinsi.

Isu kedua yang menjadi concern petani swadaya saat ini adalah legalitas lahan. Darto menyebutkan, ada 4 juta hektare yang tidak bersertifikat dari total sekitar 5,5 juta hektare atau 70% dari seluruh lahan perkebunan rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia.

"Tidak hanya satu petani, tapi hampir semua petani swadaya tidak punya sertifikat lahan. Kendalanya adalah biaya yang mahal untuk mengurusnya, sekitar Rp 3,5 juta per hektare. Bagi petani, ngapain mereka urus sertifikat lahan? Lebih bagus mereka beli pupuk," ujar Darto.

Padahal, legalitas lahan dalam bentuk sertifikat hak milik (SHM) menjadi syarat mutlak bagi petani untuk memperoleh sertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil). Dengan memiliki sertifikasi ISPO, TBS milik petani swadaya lebih terjamin untuk dibeli PKS dan diolah menjadi CPO.

Patut diketahui, sertifikasi produk sawit yang diolah secara berkelanjutan menjadi syarat agar produk CPO RI dapat diterima di pasar ekspor, khususnya Uni Eropa. Darto berharap, dengan harga komoditas yang sedang anjlok saat ini, Presiden Jokowi dapat turun tangan.

Caranya adalah dengan mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Negara (BPN) untuk membagikan sertifikat lahan bagi petani sawit swadaya secara cuma-cuma.*


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar