JAKARTA - Wilmar International (Wilmar) akkhirnya mengeluarkan sikap terkait aksi yang dilakukan Greenpeace terhadap kapal tangker pengangkut crude palm oil (CPO) milik Wlmar, termasuk yang terakhir adalah aksi Greenpeace di Spanyol.
"Wilmar sangat kecewa terhadap Greenpeace yang masih mengedepankan aksi berbahaya di muka publik ketimbang kerjasama yang bersifat membangun dengan pemangku kepentingan di industri kelapa sawit, termasuk Wilmar," kata Ravin Trapshah selaku Sustainability Communications Wilmar dalam keterangan resmi yang diterima SAWITPLUS.CO, Rabu (21/11/2018).
Ravin menganggap, aksi protes berbahaya yang dilakukan Greenpeace di atas kapal tanker di lepas pantai Spanyol menuju Rotterdam pada Sabtu (17/11/2018) tidak hanya ditujukan kepada Wilmar, tetapi juga kepada seluruh industri minyak kelapa sawit.
Kata dia, aksi yang dilakukan di perairan internasional ini tidak hanya membahayakan kru kapal, tetapi juga para pelaku protes sendiri.
Ravin menegaskan, kapal tanker tersebut bukan milik Wilmar, dan hanya sebagian dari total kargo yang diangkut oleh kapal
tersebut yang merupakan kargo milik Wilmar.
Kata Ravin, dengan menyebut minyak kelapa sawit sebagai minyak “kotor”, Greenpeace telah mengabaikan fakta bahwa tidak ada komoditas pertanian lain yang mampu menyaingi kelapa sawit dalam perkembangan dan kontribusinya terhadap keberlanjutan, termasuk untuk pencegahan deforestasi.
Wilmar, kata Ravin, melihat Greenpeace juga tidak mau mengakui bahwa minyak kelapa sawit merupakan komoditas minyak nabati yang paling produktif dan serbaguna di dunia, mampu memproduksi lima kali lebih banyak minyak nabati per hektar per tahun. Termasuk bila diibandingkan dengan minyak nabati lain yang paling produktif yakni rapeseed.
Sawit, kata Ravin, mampu memproduksi sepuluh kali lipat lebih banyak minyak nabati per hektar per tahun jika dibandingkan dengan kedelai.
Ravin mengingatkan bahwa kampanye negatif terhadap industri minyak sawit justru dapat mengakibatkan deforestasi yang lebih besar secara global melalui perluasan lahan komoditas sumber minyak nabati lainnya.
Wilmar memandang, jika dilihat dari sisi sosial ekonomi, minyak kelapa sawit telah berkontribusi pada pengentasan kemiskinan di negara berkembang.
Sawit ditanam melalui terciptanya lapangan kerja dan infrastruktur, seperti sekolah dan klinik bagi masyarakat di daerah pedalaman.
Wilmar mengaku telah berulang kali mengajak Greenpeace untuk bekerjasama dengan industri minyak sawit dalam mencari solusi pragmatis bagi berbagai tantangan yang masih dihadapi oleh industri kelapa sawit.
"Kami memiliki sikap yang terbuka dalam menyampaikan rencana aksi kami ke depan dengan Greenpeace. Meski demikian, kami masih melihat Greenpeace terus melakukan bullying dan menakut-nakuti, sementara mereka menolak melakukan tindakan yang bersifat membangun industri minyak kelapa sawit. Kami bertekad untuk meneruskan penguatan rencana kami yang diwujudkan dalam aksi yang dapat diadaptasi oleh industri. Jika semangat Greenpeace benar-benar murni untuk mewujudkan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan, kami mendesak Greenpeace untuk bergabung dan mendukung industri dalam mengambil tindakan dan membuat perbedaaan yang nyata," kata Ravin.
Ravin melanjutkan, sebagai salahsatu pemain besar, Wilmar akan terus menjadi yang terdepan dalam keberlanjutan dan
melakukan perannya dalam transformasi industri, termasuk bagi petani yang lebih rentan.
Wilmar, papar Ravin, mengingatkan akan dampak terbesar dari aksi destruktif Greenpeace akan dirasakan oleh petani yang memasok 40% minyak kelapa sawit dunia.
Wilmar melihat seringkali kekurangan sumberdaya, petani menghadapi masalah dalam memenuhi standar keberlanjutan. Dengan berkampanye melawan minyak sawit, taktik Greenepace telah merugikan petani terutama saat harga minyak sawit dunia yang rendah.
"Kami juga mendesak negara-negara produsen minyak sawit dan seluruh pemangku kepentingan yang terlibat untuk melakukan aksi kolaborasi bersama-sama, sehingga industri minyak sawit dapat menuju industri yang berkelanjutan," tegas Ravin Trapshah.hendrik