Humaniora

Tragedi Setan (48) : Iblis Mata Satu dan Jalaluddin Rumi

Gambaran perpaduan dan penambahan motif Iblis dalam Kesufian telah mengesampingkan salah satu peran paling penting yang dimainkan Iblis dalam tulisan-tulisan Sufi. Yaitu, suatu peran yang mengingatkan kembali pada konfrontasi antara Iblis dan Adam berdasarkan Al-Qur'an.

Karena kesombongannya yang sedemikian besar, Iblis buta akan sifat sebenarnya dari Adam yang baru saja diciptakan. Akibatnya, Iblis mendapat julukan Si Mata Satu.

Lihatlah rembulan yang menakjubkan dalam wajah setiap orang. Bila engkau telah melihat yang awal, lihatlah yang akhir, sehingga engkau tidak seperti Iblis, bermata satu. Setengah dia melihat, setengahnya tidak, seperti mata yang cacat.

Dia melihat tanah liat Adam, tetapi keyakinannya tidak melihatnya. Dia melihat dunia di dalamnya, tetapi dunia yang lain tidak dilihatnya.

Kebutaan mata-satu Iblis merupakan sebuah tema yang paling disukai Rumi. Tema ini merupakan sarana yang paling sering digunakan dalam Diwan dan Mathsnawi untuk kiasan terhadap Iblis.

Rumi memberi beberapa gambaran bentuk phisik dan psikis Adam. Unsur jasmaniah (eksterior) yang diterima Iblis, yang berbeda dengan batinnya. Serta bagian rohani (interior) yang tersembunyi (gaib) dari pandangannya.

Adam yang tidak memiliki kemiripan atau kesamaan, dalam mata Iblis tak tampak apa-apa selain sesosok tanah liat.

Wahai sahabat yang dungu, jangan menganggap keyakinan yang sebenarnya sebagai tanah liat! Sebab itulah pandangan Iblis, makhluk yang terkutuk. Karena keyakinan Adam terkubur dalam sebuah puing, unsur tanah liatnya menjadi penghalang pandangan bagi Iblis yang terkutuk.

Dia tetap memperhatikan tanah liat dengan perasaan jijik yang menghina, Jiwa Adam tetap berkata,"Tanah liatku adalah sebuah rintangan bagimu!" Bersujud kepada Adam adalah bukti nyata atas superioritasnya. Kulit ari senantiasa bersujud kepada biji.

Syair-syair ini hanyalah sedikit dari metafora-metafora yang disusun Rumi ke dalam struktur karyanya. Di tempat yang lain Iblis digambarkan sebagai seekor sapi yang tidak mampu menemukan mutiara yang tersembunyi di bawah tanah liat.

Atau sebagai seseorang yang senantiasa berpandangan dangkal, yang hanya bisa melihat gambaran air dan tanah liat, tetapi tidak melihat ratusan kebun mawar yang ada di belakangnya. Tempat dimana sang pujaan, yang berpipi sangat indah bagaikan bulan, telah membuat rumahnya.

Apakah siratan makna dari metafora-metafora ini? Jiwa manusia yang tersembunyi, yang menghubungkan dirinya terhadap Allah, dalam suatu kedekatan yang sebelum itu tidak pernah diberikan kepada makhluk mana pun.

Pandanglah nafas kehidupan. Jangan melihat Adam, yang dapat menggairahkan jiwa anda dengan kemuliaan. Tapi Iblis punya pandangan yang berbeda. Dia membayangkan bahwa kita terpisah dari Allah.

Buta terhadap kekayaan Adam yang tersembunyi, pada saat yang sama, berarti menolak dasar hubungan mistik yang ditemukan pada karunia jiwa Allah sendiri yang bebas dan kreatif.

Hubungan yang unik ini membedakan manusia dari semua makhluk lain yang ada dalam kosmos, dan meninggikan derajat manusia di atas mereka.

Ketika Iblis melihat selubung Adam, dia menolaknya. Adam berkata kepadanya, "Engkaulah yang ditolak! Aku tidak ditolak."

Malaikat yang lainnya bersujud. Dan ketika bersujud mereka berkata,"Kami bersaksi, ada sebuah pujaan di bawah selubung yang sifat-sifatnya menghilangkan pikiran kita, dan karena itu kami bersujud." (jss/bersambung)

 

Tragedi Setan (49) : Hindari Kesombongan Iblis

Kebutaan Iblis dalam memandang Adam jauh lebih buruk. Itu tak sekadar cacat indera. Tapi ini merupakan kesakitan yang terjadi sampai ajal. Karenanya, pertapa dengan seribu tahun pertapaan (Iblis), yang utama dari orang-orang yang beriman, akhirnya menemukan dirinya terkubang dalam timbunan hewan seperti sampah.

Ejekan-ejekan Iblis dan para pengikutnya yang mengatakan "Engkau diciptakan dari tanah liat," akhirnya memudar. Ejekan itu kehilangan gaung, dan terabaikan. Sementara itu para malaikat penghuni terus bersujud tiada henti dihadapan Adam, orang yang dipilih Allah.

Al-Muhasibi secara sinis menggambarkan keadaan Iblis yang baru tadi sebagai keadaan baqa', abadi, yang biasanya berhubungan dengan keabadiaan kondisi mistik. Namun begitu, keadaan baqa'-nya itu berada dalam bala', kesengsaraan dan penderitaan. Bukan dalam kedamaian mistik.

Dalam asimilasinya ke dalam dongeng pengetahuan Kesufian tentang konfrontasi kosmik antara Iblis dan Adam, para ahli mistik terfokus pada salah satu bagian kejadian mistik yang penting, yaitu teriakan Iblis: "Ana khayrun minhu!" (Aku lebih baik daripada dia!").

Kalimat ini, terutama kata pertama "Aku" (ana), merupakan simbol klasik para Sufi untuk suatu kesombongan dalam bentuknya yang paling eksterm. Dosa kesombongan, sebagaimana dijelaskan dalam sejarah mistik Iblis, bagi para Sufi merupakan suatu keadaan yang secara keseluruhan bertolak-belakang dengan keadaan para pengikut Jalan Spiritual.

Sebab mistisisme mencapai titik puncak dalam kegairahan penyatuan dengan Allah, sedang kesombongan menimbulkan kegairahan akal, dengan akibatnya penonjolan eksistensi diri dan harga diri yang bebas tak terkendali.

Sumber dari keinginan akan penonjolan diri yang membabi-buta ini adalah nafs-Iblis : "Nama musuh engkau adalah Iblis, berawal dengan alif," jelas An-Niffari.

"Dan nama musuh engkau nafs berawal dengan nun. Alif dan nun bersama-sama membentuk huruf-huruf dari kata ana, 'aku'.

"Tak ada keburukan yang lebih buruk dalam jiwa siapa saja selain dari kesombongan akan kesempurnaan, wahai perempuan. Banyak darah yang harus mengalir dari hatimu dan matamu karena rasa takjub terhadap diri sendiri keluar dari dalam dirimu. Malapetaka Iblis adalah ucapannya :"Aku lebih baik!"

Dan penyakit yang sama ini menimpa nafs setiap makhluk yang hidup. Yang jauh lebih membuka pikiran dari hubungan kata 'aku' dengan kesombongan adalah kenyataan, bahwa para Sufi melihat, yang tersembunyi di balik itu, adanya suatu kemungkinan pernyataan yang menuhankan diri sendiri. (jss/bersambung)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar