Humaniora

Babad Demak : Filosofi Ajaran Penjual Rumput

Layaknya daerah-derah lain, nama Salatiga juga mempunyai sejarah yang amat menarik untuk disimak. Meski nilainya tidak lebih dari sekadar hikayat karena hanya termuat dalam babad, tetapi cerita tentang Salatiga mempunyai dimensi kehidupan sosial yang amat dalam.

Misalnya, hidup di dunia jangan hanya memburu harta benda. Terus, ketulusan hati untuk menepati janji merupakan hal yang harus dipegang kuat. Sebab kalau tidak, tentu akan menimbulkan dampak negatif. Seperti ternjadinya Kota Salatiga yang berasal dari kata ‘Salah Tiga itu. Ini kisahnya yang dikutip dari Babad Demak.

Adipati Semarang, Ki Ageng Pandanarang terkenal sebagai orang kaya. Namun keinginannya menumpuk kekayaan tidak ada habisnya. Setiap ada barang yang murah dibeli dan nanti dijualnya dengan harga lebih tinggi. Tiap hari ia berkeliling pasar mencari barang dagangan yang tidak habis terjual.

Tahu sifat Ki Ageng Pandanarang itu, Sunan Kalijaga menggodanya. Untuk itu, beliau menyamar sebagai tukang penjual rumput alang-alang. Di dalam ikatan rumput dagangannya dimasukkan bungkusan berisi uang 25 peser, kemudian dipikul ke pasar.

Di pasar, beliau bertemu dengan Ki Ageng Pandanarang. Sepikul rumput alang-alang yang oleh Sunan Kalijaga ditawarkan dengan harga 25 peser itu dibeli Ki Ageng Pandanarang. Sunan Kalijaga kemudian mengantar rumput dagangannya itu ke rumah Ki Ageng Pandanarang dan terus pulang.

Sepeninggal Sunan Kalijaga, tahulah Ki Ageng bahwa dalam ikatan rumput itu terdapat uang 25 peser milik penjual rumput tadi. Ki Ageng Pandanarang merasa beruntung karena berarti ia membeli tanpa kehilangan uang.

Esok harinya, penjual rumput itu datang lagi memikul dagangan ke rumah Ki Ageng Pandanarang. Ki Ageng Pandanarang heran, karena sepagi itu sang penjual rumput sudah datang. Padahal, rumahnya berada jauh di Jabalkat.

Uang 25 peser yang kemarin tertinggal di dalam ikatan rumput dikembalikan. Tetapi, penjual rumput tadi masih meminta yang lain. Ketika diberi uang sepeser, dia menolaknya. Dia meminta bedug Semarang. Mendengar permintaan itu, Ki Ageng marah.

Namun, si penjual rumput tidak keder. Bahkan, menyadarkan Ki Ageng dengan mengatakan, bahwa tidak sepantasnya orang ditunggangi harta benda.

Menurut si tukang rumput, harta benda hanya akan mempersulit seseorang menuju surga. Malah si tukang rumput ini bilang, jika cuma ingin harta, dia bisa menunjukkannya. Hanya sekali ayun cangkul, sebongkah emas akan didapat.

Mendapat penjelasan seperti itu, Ki Ageng tambah marah. Dicobalah kesaktian si penjual rumput itu. Dan, ternyata benar. Sekali mengayunkan cangkul, ada sebongkah emas di dalamnya.

Maka, dengan perasaan takut dan takjub, digandengnya si penjual rumput itu ke dalam rumah. Sejak saat itu ia menyatakan diri menjadi murid si penjual rumput.

Sunan Kalijaga mengizinkan, tetapi dengan syarat Ki Ageng Pandanarang memenuhi beberapa syarat yang ditentulan. Di antaranya, beriman, mengislamkan orang Semarang, membuat langgar (surau), serta bedugnya, berzakat dengan kerelaan hati dan jika benar-benar ingin berguru, ia diminta menyusulnya ke Jabalkat.

Pada waktu itu, sang penjual rumput mengaku terus terang bahwa dia adalah Syeh Melaya atau Sunan Kalijaga. Tempat tinggalnya di Jabalkat atau Desa Bayat.

Sepeninggal Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pandanarang berpamitan kepada delapan istrinya. Ia akan berguru kepada Sunan Kalijaga di Desa Bayat. Tetapi, istri yang tertua tidak mau ditinggal. Ia ngotot agar diajak serta. Akhirnya, sang istri pun diajak dengan syarat tidak boleh membawa harta benda.

Tetapi, dasar wanita, ia tetap nekad membawa perhiasan. Tanpa sepengetahuan sang suami, ia sembunyikan permata itu di tongkatnya. Ia selalu berjalan di belakang suaminya karena takut ketahuan permata bawaannya.

Namun naas. Sesampai di hutan, Ki Ageng Pandanarang dihadang tiga penjahat. Mereka bermaksud merampas barang bawaan Ki Ageng. Lantas Ki Ageng berkata kepada mereka, bahwa dia tidak membawa apa-apa.

Tapi dia menawarkan pada perampok itu, kalau ingin harta, istrinya membawa permata di dalam tongkatnya. Maka ketiga penjahat itu pun merebut tongkat istri Ki Ageng.

Seorang penjahat lain, namanya Sambang Dalan datang memaksa Ki Ageng Pandanarang untuk menyerahkan barang berharga lainnya. Yang diminta adalah permata. Tetapi Ki Ageng tidak memberinya karena memang tidak punya.

Karena terus tidak percaya jawabannya, Ki Ageng menyebut bahwa Sambang Dalan itu sifatnya seperti domba. Saat Ki Ageng bicara itu, sontak Sambang Dalan berubah wujud menjadi seekor domba. Dengan menyesal akhirnya Sambang Dalan terpaksa terus menguntit perjalanan Ki Ageng Pandanarang.

Sesampai di Bayat, Ki Ageng langsung mendaki bukit Jabalkat. Di sana dijumpainya sebuah padasan (tempat air wudlu terbuat dari tanah) yang tak berair dan masjid kecil. Sambang Dalan mendapat tugas mengisi padasan itu siang malam hingga penuh.

Tapi, karena padasan itu tidak bisa penuh, maka Sambang Dalan tidak pernah tidur. Pekerjaan berat itu dilakukan karena ingin wujudnya kembali menjadi manusia.

Ketika Sunan Kalijaga melihat itu, Sambang Dalan meratap. Dia menyerahkan nasibnya. Oleh Sunan Kalijaga dia dianjurkan bertobat dan memohon kepulihan seperti wujudnya semula. Sunan Kalijaga kemudian mencabut tongkatnya yang atas kehendak Allah keluarlah airnya.

Menurut Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pandanarang ditakdirkan menjadi orang Islam. Namanya kemudian diganti menjadi Pangeran Bayat. Tugasnya mengislamkan orang kafir.

Ia diperbolehkan mendirikan perguruan dan diminta menjaga masjid kecil yang telah ada itu. Sedangkan sahabat Pangeran Bayat diberi nama Syeh Domba. jss


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar