Negara Indonesia adalah negara penghasil CPO terbesar di dunia, dan telah membukukan bahwa CPO merupakan penghasil devisa terbesar pada lima tahun terakhir. Tercatat tahun 2017 Kelapa Sawit mencatatkan menyumbang devisa sebesar 307 Triliun dan 127 Triliun berasal dari Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat.
Namun sangat miris, malang dan berulang, bahwa keberadaan CPO Indonesia menjadi bulan-bulanan Negara Asing khususnya Negara Importir CPO Indonesia. Jika Indonesia tidak mampu meyakinkan Negara Importir CPO Indonesia, akan berakibat fatal bagi kelangsungan industri kelapa sawit di Indonesia.
Bertubi-tubinya kampanye negatif terhadap Industri kelapa sawit Indonesia telah menambah beban negara karena harus keliling dunia meng-counter isu negatif tersebut. Setelah dari Jepang, India, Rusia, Prancis, Pakistan, kini giliran Swiss dan Spanyol yang menjadi tugas delegasi Indonesia melalui Diplomasi Sawit Indonesia.
Keberhasilan Diplomasi Sawit Indonesia di Roma melakukan Diplomasi Sawit yang dipimpin oleh Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan memberikan kelegaan yang cukup signifikan. Bagaimana tidak, setelah Uni Eropa (UE) mengeluarkan keputusan bahwa tahun 2020 Stop Pemakaian CPO di seluruh negara Eropa telah mengacaukan ekonomi kelapa sawit di Indonesia, yang tampak jelas dengan menurunnya ekspor CPO Indonesia ke negara-negara Eropa, sekalipun penurunan Ekspor CPO ini tidak begitu signifikan tetapi harga TBS di tingkat petani sudah terjun bebas sampai menyentuh level Rp. 600-800/Kg TBS.
Tentu dengan kondisi seperti ini sangat membuat kocar-kacirnya Petani Sawit yang faktanya usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia 41,2% dikelola oleh petani swadaya.
Keberhasilan Diplomasi Sawit di Roma ini sangat diapresiasi oleh seluruh pelaku usahatani kelapa sawit di Indonesia, dimana Masyarakat UE mau mengundur Stop Penggunaan CPO menjadi tahun 2030.
Dengan penambahan range 10 tahun ini dirasa cukup buat Indonesia untuk memikirkan bagaimana Indonesia tidak hanya mengekspor CPO saja, tetapi harus bekerja keras memproduksi produk turunan dari CPO, sehingga ke depannya CPO bukan merupakan produk utama dari ekspor, tetapi sudah menjadi produk turunan dari CPO.
Sebagai tindak lanjut dari keberhasilan Diplomasi Sawit Indonesia di Roma, Tim Delegasi kembali mencoba meyakinkan negara Swiss dan Spanyol bahwa paradigma industri kelapa sawit di Indonesia sudah jauh berubah dengan prinsip keberlanjutan (sustainable).
Dimulai dari Pertemuan di Zurich Swiss, tanggal 2 Oktober 2018, pertemuan Indonesia-Switzerland Business Forum, yang mengusung thema Indonesia-European Free Trade Association Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA). Tim Delegasi Indonesia dipimpin langsung oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang terdiri dari Kementerian Perdagangan, Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), Kepala Kesekretariatan Komisi ISPO, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) yang diwakili oleh Gulat ME Manurung dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengajak para pelaku usaha Indonesia dan Swiss untuk memanfaatkan Indonesia-European Free Trade Association Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA). Hal ini disampaikan saat memberikan sambutan pada Forum Bisnis Indonesia-Swiss di Zurich, Swiss, pada Selasa (2/10/2018) lalu.
“Setelah perundingan IE-CEPA difinalisasi, diharapkan para pebisnis dari kedua negara dapat langsung memanfaatkan kesepakatan tersebut. Pelaku usaha akan menuai keuntungan dari IE-CEPA,” jelas Enggartiasto lebih lanjut.
Pada kesempatan ini Mendag menyampaikan perkembangan terbaru produk sawit di Uni Eropa. Sektor sawit secara signifikan telah berperan pada perekonomian Indonesia dan menjadi sumber pendapatan bagi 5,3 juta pekerja serta berdampak terhadap hajat hidup 21 juta rakyat Indonesia.
Terkait Kontribusi sawit terhadap Sustainable Development Goals (SDGs), pemerintah memahami hal yang menjadi perhatian Eropa akan sustainability produk sawit Indonesia, dan Indonesia sudah jauh sebelumnya berupaya dan berkomitmen untuk itu seperti menerapkan konsep ISPO dan RSPO.
“Komitmen dan tantangan dari Eropa untuk produk sawit berkelanjutan telah dijawab Pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan moratorium kelapa sawit. Presiden Joko Widodo telah menandatangani Inpres No. 8 pada 13 September 2018 mengenai Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit,” dan yang terakhir dengan diterbitkannya PP 86 Tahun 2018 tentang Reformasi Agraria terang Enggartiasto.
Forum Bisnis Indonesia-Swiss membahas upaya peningkatan hubungan perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara EFTA (Swiss, Norwegia, Islandia, dan Liechtenstein). Forum Bisnis ini dibuka juga oleh Duta Besar Indonesia untuk Swiss dan Lichtenstein Muliaman Hadad, dan dihadiri Head of International Relations, Economie Suisse Jan Atteslander, dan Kepala Hubungan Ekonomi Bilateral Sekretaris Negara untuk Hubungan Ekonomi Erwin Arjuna Bollingerrs.
Narasumber pada forum bisnis ini adalah Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) DR. Fadhil Hasan, Kadin Swiss-Asia (SACC) Jesse Ng, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Indonesia Iman Pambagyo, Pendiri/CEO E-kollektion Ernesto Sturzenegger, dan Pendiri/CEO Livingdreams Nicole Hoch.
Forum Bisnis Indonesia-Swiss adalah upaya peningkatan hubungan perdagangan antara Indonesia dengan Swiss agar lebih erat lagi. Saat ini terdapat lebih dari 150 perusahaan Swiss yang berinvestasi di Indonesia dan menciptakan lebih dari 20 ribu lapangan pekerjaan di Indonesia.
“Melalui forum bisnis ini diharapkan dapat mempererat hubungan antara pengusaha dari kedua negara, serta menjadi sarana untuk menyampaikan kondisi perekonomian terkini,” tandas Enggartiasto.
Setelah selesai sesi pertama, dilanjutkan dengan Dialog langsung one by one, yaitu pertemuan antara pelaku usaha Indonesia dengan mitra bisnis dari Swiss. Model one by one ini sengaja dibuat untuk mempertemukan antara kepentingan para mitra bisnis.
Delegasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, yang diwakili oleh Gulat ME Manurung (APKASINDO), menjelaskan bahwa pertemuan one by one ini sangat menarik, karena saya bisa menjelaskan kepada perwakilan pengusaha Swiss bahwa usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia 41,2% diusahakan oleh Petani Swadaya, jadi sangat berarti kepada ekonomi masyarakat.
Sepertinya mitra diskusi saya (dari perusahaan analisis pembiayaan) tidak yakin dengan angka 41,2% tersebut, dan terus mengejar data-data terkait keberadaan Petani Kelapa Sawit Indonesia. Dan setelah saya berikan data yang lebih akurat barulah yakin mitra diskusi saya dan mengapresiasi sistem kelembagaan petani sawit di Indonesia, ujar Gulat lebih lanjut.
Namun Mitra diskusi saya selanjutnya pertanyaannya lebih mengarah kepada isu lingkungan dan tenaga kerja. Kampanye negatif tentang kelapa sawit Indonesia telah membangun cara pandang Pengusaha di Swiss bahwa Indonesia adalah perusak lingkungan (deforestasi).
Untungnya saya memahami kemana arah pertanyaan dari mitra diskusi saya sehingga pemahaman mitra saya tersebut berubah menjadi memahami langkah-langkah kebijakan yang sudah digariskan dalam industri sawit, khususnya keberadaan Petani Sawit dalam berkontribusi menjaga kelestarian lingkungan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Arlinda menyampaikan pelaku usaha Indonesia yang turut serta dalam misi dagang di Swiss kali ini datang dari sektor kelapa sawit, produk tekstil dan garmen, kopi, perhiasan, produk kertas, cangkir roti dan serbet kertas, serta topi koki higienis, jadi tidak hanya terfokus ke industri kelapa sawit.
“Misi dagang menjadi salah satu cara penetrasi pasar ekspor yang dapat meningkatkan volume perdagangan lebih cepat karena para pelaku usaha dapat bertemu dengan mitranya secara langsung,” ungkap Arlinda.
Setelah selesai acara di Zurich Swiss, Tim Delegasi Indoensia berpindah ke negara Spanyol, yaitu di Kota Madrid untuk acara Konferensi European Palm Oil Aliance (EPOA). Konferensi yang diinisiasi oleh European Palm Oil Aliance (EPOA) ini mengambil tema "How Sustainable Palm Oil Contributes to the UN Sustainable Development Goals" yang dilaksanakan tanggal 4 Oktober 2018.
Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengajak para produsen minyak kelapa sawit untuk bekerja sama melawan kampanye negatif di berbagai negara, khususnya di Uni Eropa. Hal ini disampaikan Mendag saat menjadi pembicara pada pertemuan Konferensi Minyak Kelapa Sawit Eropa (EPOAC) di Madrid, Spanyol.
"Produsen minyak kelapa sawit harus bersatu dan bekerja bersama dalam melawan kampanye negatif. Banyak persepsi keliru tentang sawit yang jika dibiarkan maka sentimen negatif tersebut akan dianggap sebagai kebenaran," ujar Mendag.
Oleh karena itu, sambung dia, perlu digencarkan kampanye positif mengenai produk sawit, agar pemberitaan menjadi lebih berimbang dan masyarakat internasional lebih paham peran sawit bagi pembangunan berkelanjutan.
Pada kesempatan tersebut, Enggar juga menginformasikan perkembangan terkini mengenai kebijakan moratorium sawit yang ditandatangani Presiden Joko Widodo melalui Inpres No 8 tanggal 13 September 2018. Regulasi tersebut mengatur Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.
Mendag menyampaikan, minyak kelapa sawit bukan komoditas biasa bagi Indonesia.
"Sejak pertengahan tahun 2000-an, ekspor minyak kelapa sawit telah menjadi sumber pendapatan penting bagi Pemerintah untuk mendorong pembangunan ekonomi di Indonesia. Namun, seiring meningkatnya ekspor komoditas ini, meningkat pula kampanye negatif tentang minyak kelapa sawit, terutama di negara-negara maju," tandasnya.
Selain Mendag, pembicara pada konferensi ini antara lain Menteri Industri Utama Malaysia Teresa Koh Sum Sim, Mantan Presiden Kolombia Alvaro Uribe Velez, dan Plant Production and Protection Officer of The FAO Regional Office for Europe and Central Asia Viliami Fakava.
Gulat Manurung mejelaskan bahwa pertemuan di Madrid memang lebih fokus kepada Kelapa Sawit, sehingga pembahasannya lebih mendalam. Banyak hal yang terungkap dari EPOC ini, khususnya saat diskusi one by one, dimana pertanyaanya sebenarnya sangat sederhana, bagaimana khususnya Petani Kelapa Sawit dapat berperan dalam menjaga keberlangsungan lingkungan dan sejauhmana Petani bisa mengikuti ISPO, pertanyaan ke Saya hanya mutar-mutar disitu saja, sebab mitra diskusi saya sama sekali tidak mengetahui tentang aspek agronomis kelapa sawit.
Khusus untuk keberlangsungan lingkungan, saya hanya memberi ilustrasi bahwa sawit di-replanting sekali dalam 25-30 tahun, sementara tanaman semusim penghasil minyak nabati seperti kedelai, bunga matahari, sorgum, jagung dan tanaman sejenis dipanen (replanting) antara 3-6 bulan, mana yang lebih akrab lingkungan, tentu jauh lebih baik kelapa sawit, dan ternyata mitra diskusi saya tidak mengetahui bahwa sawit di-replanting setelah umur 25-30 tahun.
Misteri lain yang saya petik dari pertemuan di Zurich dan Madrid bahwa mitra bisnis di sektor kelapa sawit seakan tidak percaya bahwa 41,2% perkebunan kelapa sawit dikelola oleh Petani Swadaya. Hal ini terungkap saat sesi diskusi pada acara EPOC di Madrid maupun di Zurich, mereka sangat mengapresiasi luasnya perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh Petani Swadaya. Dan harapan ke depan dari Pertemuan EPOC ini, melalui perwakilan pengusaha Eropa, menginginkan petani lebih dominan dalam usaha agrobisnis kelapa sawit di Indonesia.
Dan mitra diskusi saya sangat terkejut karena tidak satupun Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dimiliki oleh Petani meskipun hampir setengah perkebunan sawit di Indonesia diusahakan oleh Petani Swadaya.
Tawaran yang menarik kepada Saya sebagai Perwakilan Petani Sawit adalah supaya Petani Kelapa Sawit segera move on menjadi Petani CPO dengan membangun PKS Holding Smallholder. Jika Petani Sawit sudah memiliki PKS sendiri, mereka mau berbinis langsung dengan konsep B to B. Ini berita baik sekaligus penambah percaya diri Petani Sawit bahwa Petani sawit sangat dihormati di Eropa.
Gulat menyimpukan Pesan penting yang dapat diambil dari pertemuan di dua negara ini adalah Pertama Petani Kelapa Sawit sangat dikedepankan, maka itu saran saya kepada Pengusaha maupun Pemerintah supaya tetap menggandeng Petani Kelapa Sawit melalui asosiasinya untuk duduk bersama untuk atau sebelum mengambil suatu kebijakan, tidak mungkin hanya Pengusaha, jika hanya pengusaha mungkin sudah lama tinggal kenangan industri kelapa sawit di Indonesia.
Kedua, tuduhan tentang sawit adalah perusak lingkungan, HAM dan Deforestasi adalah murni persaingan bisnis (politik perdagangan), dimana masyarakat Eropa mempunyai Produk yang sama yaitu Minyak Nabati, di Indonesia Minyak Sawit, dan perbandingan efisiensi produktivitas lahannya adalah 1:10. Artinya untuk menghasilkan 1 ton minyak nabati dari kacang-kacangan/sejenis dibutuhkan 10 ha lahan, sedangkan untuk menghasilkan 1 ton CPO cukup hanya 1 ha lahan, perbandingan ini membuat harga CPO jauh lebih murah dibanding minyak nabati yang berasal dari kacang-kacangan atau yang sejenis, siapapun pasti memahami matematika sederhana ini.
Politik dagang ini mempunyai pesan khusus, yaitu bagaimana Eropa bisa membeli CPO dengan harga murah, ya dengan macam-macam caralah seperti yang selama ini selalu terjadi. Pernahkah terpikir oleh kita bahwa ternyata setengah dari semua produk yang kita beli di Super Market berasal dari minyak kelapa sawit ?. Inilah yang membuat mengapa kelapa sawit sangat mengganggu negara penghasil minyak nabati dari kacangan/sayuran/sejenis.
Ketiga, Indonesia harus lebih kencang dalam meneliti dan memproduksi produk turunan dari CPO, karena isu-isu negatif tentang sawit tidak akan pernah hilang sepanjang sawit masih lebih efisien dibanding sumber bahan minyak nabati lainnya. Semakin lama isu negatif sawit akan semakin meningkat seiring bertambahnya kebutuhan CPO dunia.
Petani sawit dan pengusaha harus kompak menghadapi tekanan-tekanan Eropa ini, tidak bisa hanya Pengusaha atau sebaliknya, tapi harus bersama-sama didukung oleh Pemerintah. Jadi sekali lagi saya sampaikan bahwa Pengusaha Sawit khususnya Pihak PKS supaya lebih bijak cara memandang Petani Sawit, seperti cara menetapkan harga TBS Petani Mandiri khususnya, tidak semena-semena lagi karena persoalan di Eropa melunak dan sangat terbantu dengan 41,2% petani sawit.
Bayangin jika petani kompak mengganti sawitnya dengan tanaman lain, kan modar sendiri Pengusaha menghadapi persoalan tekanan-tekanan dari negara Importir CPO. Jadi sejujurnya Tekanan Eropa dan Importir CPO lainnya di satu sisi ada baiknya, yaitu sebagai evaluasi diri kepada semua pelaku usaha sawit (Petani dan Korporasi) termasuk pemerintah, supaya lebih baik ke depan. Coba kalau tidak ada tekanan dari Importir CPO, rasanya Inpres Nomor 8 (dengan 20 % lahan wajib dikerjasamakan dengan Masyarakat sekitarnya) dan PP 86 (lahan yang masuk kawasan dapat diajukan pelepasan dengan Program TORA) mungkin tidak akan pernah terbit.
Jurus jitu Pemerintah ini sangat diapresiasi Paguyuban Petani Sawit, seperti Apkasindo, rasanya demikian juga dengan teman-temanAsosiasi SAMADE, SPKS DAN ASPEK PIR. Tidak ada gunanya kita bercerita kepada dunia bahwa hutan Indonesia 30-40%, tapi faktanya lebih kecil dari angka tersebut.
Kita harus jujur dan sebenarnya justru ini salah satu yang menjadi biang kerok dari isu lingkungan, yaitu masih banyaknya kebun sawit dalam kawasan hutan, jika tidak segera di-TORA-kan maka isu kampanye negatif akan selalu berkumandang dengan tuduhan rantai pasok TBS yang tidak clear and clean, ujar Gulat.
Terkhusus untuk Inpres Nomor 8 Tahun 2018 jangan hanya memandang Moratorium saja tapi lihat sisi baiknya jauh lebih penting, demikian juga dengan PP Nomor 86 Tahun 2018, ini merupakan solusi untuk menyelesaikan persoalan sawit yang masih terjebak dalam kawasan hutan.
Harapan Apkasindo, supaya Pihak-Pihak yang ditugaskan oleh Presiden untuk menyelesaikan persoalan Reforma Agraria di sektor Perkebunan Kelapa Sawit yang masih terjebak dalam kawasan hutan, supaya membuka diri dan mengedepankan Masyarakat Petani Sawit, karena jika program TORA ini tidak sampai ke masyarakat Petani yang masih dalam kawasan hutan, maka akan sia-sia semuanya, jelas sekali Pak Menko Perekonomian beberapa kali menyampaikan Pesan secara Halus maupun Keras supaya semua pihak bahu-membahu melaksanakan Program TORA ini.
Saat Seminar Nasional bulan September yang lalu dengan Thema Kolaborasi NGO dengan APKASINDO untuk meningkatkan kesejahteraan Pekebun, Teman-Teman NGO juga setuju ikut memperjuangkan Program TORA jika untuk kepentingan Masyaraat Pekebun.
Mari Pak Kepala Desa, Camat, Bupati sampai Gubernur membantu Petani dan Koperasi Perkebunan yang kebunnya masih terjebak dalam kawasan Hutan, tanpa Rekomendasi dari Kepala Desa, Camat, Bupati dan Gubernur maka Hak Pekebun yang masih terjebak dalam kawasan hutan tidak akan tergapai. Karena tanpa Rekomendasi tersebut, Tim Verifikasi dari KLHK tidak akan pernah turun ke lapangan sebagai tahapan Pengusulan TORA sebagaimana diamanahkan dalam Regulasi Inpres dan PP tersebut.
Pembiaran Kebun Sawit dalam kawasan hutan, akan menjadi Amunisi Abadi untuk Kampanye Negatif Sawit Indonesia.
Secara khusus APKASINDO menyampaikan supaya Pihak Berwenang (Polisi, Polhut dan GAKUM) supaya menahan diri, karena Presiden sudah memberi ruang kepada Pekebun yang terlanjur berkebun atau berusaha dalam kawasan hutan untuk dilegalkan melalui Program TORA. Surat Permohonan ini juga sudah dilayangkan Pengurus Pusat DPP-APKASINDO kepada Bapak Presiden demi suksesnya Program-Program sektor Perkebunan Kelapa Sawit yang sudah digulirkan oleh Pemerintah.