Lingkungan

Woww, Turis Asing Itu Suka Ndalang dan Nyinden Lho

Kristian dan rekan-rekan seperjuangannya patut berbangga karena program ini banyak diminati anak-anak usia dini hingga mahasiswa. Tak jarang pula Omah Wayang menjadi tujuan kunjungan beberapa rombongan turis mancanegara.

Namun begitu, Kristian masih merendah. “Tentu masih banyak kekurangan di sana-sini. Tetapi semangat para relawan kami perlu mendapatkan apresiasi,” katanya.

Kristian mengakui, bahwa keberadaan Dewi Fortuna banyak dibutuhkan masyarakat, “Karena program-program yang variatif, keterampilan berbasis lokal yang kental, fleksibel, dan tanpa batas usia dan menjadi pilihan terbaik bagi masyarakat, terutama mereka yang gagal mengenyam pendidikan secara formal,” ujar Kristian.

“Bukan hanya warga belajarnya, lha wong tutornya juga banyak yang kurang beruntung kok. Mereka sebagian masih ‘wiyata bhakti’ di sekolah formal, dan guru seninya juga adalah sarjana seni (tradisional) yang menganggur. Kita tahu, kesempatan sarjana seni tradisional menjadi PNS sangat kecil, meskipun banyak sekolah membutuhkan guru seni. Pencapaian-pencapaian kecil Dewi Fortuna bukan semata-mata karena kekuatan dari para pengelolanya, tetapi lebih karena dukungan dari banyak pihak,” imbuhnya.

Dia menjelaskan, jika sekadar mengandalkan pengelola dan sarana fisik, Dewi Fortuna tidaklah mungkin berkembang. Para pengelola Dewi Fortuna adalah relawan yang tidak digaji. Mereka dibantu 10 orang relawan yang ditunjuk sebagai pengurus. Sedangkan tutor yang terlibat sebanyak 26 orang. Mereka harus mampu memberdayakan potensi Dewi Fortuna. Mereka mesti berfikir dan berbuat bagaimana produk Dewi Fortuna bisa laku terjual.

Dengan mengusung brand Omah Wayang, Dewi Fortuna memproduksi kerajinan wayang kulit, cindera mata, souvenir, kaos wayang, VCD kethoprak warga Keaksaraan, VCD Pedalangan, buku-buku modul tentang wayang dan pedalangan, naskah Kethoprak, hingga kepada jasa seniman pedalangan, sinden dan karawitan.

Pada pamflet penjualan produk tertulis “Produk Kami jelas Mahal dan Jelek”. Kristian menandaskan, mahal karena 10 persen laba penjualan disumbangkan untuk subsidi kegiatan pendidikan yang dilakukan Dewi Fortuna. Dan jelek karena produk merupakan hasil karya tangan siswa pembelajaran, bukan mesin massal. Tapi karena itulah membuat orang tertarik membeli.

“Bukan karena kualitas barangnya tetapi lebih karena ingin menyumbang bagi pendidikan. Misalnya souvenir wayang yang dibuat dari limbah kulit hasil karya ibu–ibu. Secara fisik souvenir itu kurang artistik dibanding karya seorang seniman,” kata Kristian.

Dalam perjalanannya, Dewi Fortuna tak semulus yang dibayangkan orang, “Kami acap menerima cemoohan, kritik, dan cibiran dari sebagian orang. Sikap sinisme yang kami terima, malah memotivasi kami untuk melakukan langkah-langkah perbaikan. Ya, kami mengoreksi diri. Kami memang butuh kritikan dan saran untuk menjadi lebih baik lagi. Kritikan adalah “jamu” bagi kami, pahit tapi berkhasiat,” ujar Kristian.

Memasuki areal Dewi Fortuna, tak ada bangunan yang terkesan mewah dan modern. Nuansa kesederhanaan sangat kental terasa. Dewi Fortuna terletak di sebuah desa pinggiran Kota Klaten, di tengah pemukiman penduduk.

Lembaga ini menempati lahan seluas 900 M2, terdiri dari ruang belajar, kantor, ruang tutor, ruang keterampilan, panggung terbuka, gazebo dan galeri yang memajang beraneka produk. Bukan perkara mudah mengajak masyarakat untuk belajar. Tetapi dengan pendekatan kebudayaan dan seni sebagai corong publikasi, para pengelola Dewi Fortuna berusaha keras menjaring masyarakat. Hasilnya, banyak warga yang ‘terjerat’ pesona Dewi Fortuna. Mereka mengikuti program-program yang diselenggarakan. Tatang Budimansyah

 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar