Lingkungan

Ini Racikan Raki Maco Mak Helmawati

Bangunannya sederhana. Dulu, itu adalah sebuah warung makan. Sekarang bangunan yang terletak di pinggir Jalan Raya Semabur, Nagari (Desa) Tabek, Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat itu disulap menjadi sentra home industry.

Dari luar, tak tampak ada kegiatan. Sepi. Di bagian depan bangunan tersebut, ada sebuah etalase sepanjang kurang lebih 1 meter. Di dalamnya terpajang beragam kain bordir. Di bagian bawah etalase tersebut, juga dipajang aneka penganan khas Batu Datar.

Denyut aktifitas baru kentara di bagian belakang bangunan itu. Pada sebuah ruang, Mak Helmawati sedang meracik bumbu untuk penganan bernama raki maco (semacam peyek), salah satu makanan khas Batu Datar. Di ruangan lain yang lebih sempit, dua orang ibu asyik menggoreng raki maco hasil racikan Mak Helmawati.

Memasuki usianya yang ke 57, Mak Helmawati masih cekatan meracik dan membentuk raki maco, penganan berbahan dasar tepung beras dan ubi. Selain raki maco, sentra home industry itu juga memproduksi penganan khas lainnya, yakni sanjai ubi kayu, sanjai bunga ros, raki ikan, dan raki kacang. Sebagian besar penganan tersebut berbahan utama tepung beras atau tepung ubi kayu.

Mak Helmawati dan belasan ibu lainnya, adalah warga binaan dari sebuah kelompok kewirausahaan bernama Balairung Sari. “Dalam sehari, saya membuat 700 buah raki maco,” terang Mak Helmawati.

Dia menjualnya dengan harga Rp 4.000 per bungkus, berisi 10 buah raki maco. Keuntungan yang diperolehnya sehari, mencapai Rp 100 ribu. Penganan produksi sentra home industry Balairung Sari dipasarkan di sejumlah pasar tradisional di kabupaten itu. Sebut saja misalnya Pasar Semabur, Pasar Batu Tarap, Pasar Rambatan, Pasar Balimbing, dan Pasar Batu Sangkar, “Kami memasarkannya tiga kali dalam seminggu,” kata Irsyad, salah seorang pembina kewirausahaan yang saat itu mendampingi Mak Helmawati.

Dari keuntungan yang diperoleh, warga berhak memperoleh 70 persen. Sedangkan sisanya yang 30 persen dimasukkan ke kas lembaga, “Sistem pembagian ini dinilai adil. Kami memang ingin persentase untuk warga jauh lebih besar, agar mereka tak merasa sia-sia dalam pengerjaannya,” tutur Hj. Hulmi, Sekretaris Balairung Sari. Selain beragam penganan, sentra home industry itu juga memproduksi kain border dari benang emas. Kain itu dibentuk menjadi tudung saji dan aneka model baju perempuan.

“Pengerjaannya dilakukan secara manual, yakni menggunakan tangan. Wajar jika untuk satu karya saja bisa menghabiskan waktu sampai tiga bulan. Itu pulalah yang menyebabkan border benang emas yang kami produksi terbilang mahal, yakni Rp 400 ribu per potong,” kata Hj Hulmi.

Yang patut disayangkan, sentra home industry yang terletak di pinggir jalan raya itu, kurang menarik perhatian. Sepintas, bangunan itu seperti warung makanan. Sementara etalase yang dipajang, nyaris tak terlihat, kecuali jika pengunjung memasuki bangunan itu. Selain itu, papan nama yang dipasang terlalu kecil. Itu pun tertutup pohon pinang. Sehingga, para pengendara yang melintasi jalan Semabur tak mengetahui bahwa di tempat itu ada sentra home industry.
 

“Saya akui, tempat ini memang kurang di-branding,” kata Mustafid, Ketua Balairung Sari. Padahal, kendati hasil produksinya dijual di pasar-pasar, namun alangkah lebih baik jika di pusat pembuatannya pun bisa terjual dengan maksimal, “Ke depan, mungkin kami akan merubah desain tempat ini agar terlihat menarik dan mudah diketahui oleh pengendara yang lalu lalang. Selain itu, kami juga perlu memasang baligo atau spanduk,” imbuh Mustafid.

Kendala utama yang dihadapi, semua produksi sentra home industry Balairung Sari belum tembus ke pasar swalayan. Dikatakan Mustafid, untuk masuk ke pasar swalayan, produk perlu dikemas secara higienis dan harus mempunyai merek,

“Untuk urusan itu, Dinas Kesehatan yang berwenang mengeluarkannya. Tempat ini pernah disurvei, tapi masih dikatakan tak layak untuk mendapatkan nomor registrasi dari Dinas Kesehatan, terutama jika dilihat di bagian dapur yang terkesan masih acak-acakan,” katanya.

Balairung Sari mulai berkiprah dalam bidang kewirausahaan masyarakat sejak tahun 2010 lalu. “Balairung Sari berdiri beranjak dari keprihatinan kami atas masih banyaknya kegiatan warga di desa ini yang tak terhimpun. Saya dan beberapa tokoh masyarakat memimpikan bisa membuat wadah agar ragam aktifitas warga bisa terserap dan terkoordinir. Kami juga prihatin melihat kenyataan bahwa di desa ini masih banyak usia produktif yang tak memiliki keterampilan (skill) yang memadai,” papar Mustafid. Akhirnya, lanjut dia, sejumlah tokoh adat setempat menggelar diskusi, hingga berdirilah Balairung Sari.

Nagari (Desa) Tabek memiliki jumlah penduduk sebanyak 3.500 jiwa. Sebagian besar penduduknya masih rendah dalam penguasaan teknologi, “Hadirnya Balairung Sari diharapkan mampu membantu warga dalam hal penerapan teknologi, sekalipun teknologi yang sederhana,” kata pria kelahiranTabek, 31 Desember 1965 ini.

Untuk dapat berinovasi dan berkreasi, Balairung Sari mempersiapkan sumber daya pengelola dengan banyak diikutsertakan dalam berbagai pendidikan dan pelatihan. Misalnya, dengan mengikuti seminar-seminar, “Lembaga ini akan lebih bermakna apabila kehadirannya dapat menciptakan lapangan kerja dan menjadikan warga memiliki keterampilan handal. Mereka harus siap bersaing di dunia industri, serta mempunyai usaha mandiri,” kata Mustafid. Tatang Budimansyah


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar