Herbal

Salut, Ning Hermanto Menduniakan Ramuan Mahkota Dewa

Jamu. Ramuan ajaib ini sudah dikenal sejak zaman nenek-moyang kita jauh sebelum pengobatan medis dikenal. Namun, perkembangan teknologi dunia media membuat ramuan jamu ini seakan ketinggalan zaman. Tapi tidak bagi Ning Hermanto. Sebagai Herbalis, ia aktif menggalakkan jamu agar setara dengan pengobatan medis.

Ning Hermanto mengatakan, jamu memang tidak bisa instan terasa khasiatnya. Ini yang banyak membuat orang beralih pada pengobatan yang relative lebih instan.“Industry jamu kita masih begitu-begitu saja. Tidak nendang istilahnya, in karena teknologi yang digunakan dalam pengolahan jamu masih sangat manual,” ujarnya saat ditemui di klinik herbal Mahkota Dewa di Rawa Badak, Jakarta Utara.

Ning Hermanto sebagai praktisi jamu namanya telah dikenal. Dia memproduksi jamu dengan perusahaan PT. Mahkotadewa Indonesia merupakan perusahaan herbal pertama di Indonesia yang meraih sertifikat keamanan pangan internasional/Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP).

Dalam pengembangannya, ia konsisten melakukan serangkaian penelitian untuk membuktikan khasiat jamu buatannya serta menerapkan teknologi mutakhir dalam proses pengolahan jamunya. “Dengan ada bukti laboratorium, masyarakat juga akan sangat yakin bahwa jamu berkhasiat,” paparnya.

Saat ini, lanjut Ning, dalam pengolahan jamu menggunakan teknologi nano. Yakni ekstrak dari tanaman obat yang diracik, partikelnya dibuat berukuran nano yang menyerupai sel tubuh manusia, sehingga absorbsinya akan lebih cepat ketimbang ekstraksi biasa.

“Sudah kita teliti, hasil khasiatnya sangat cepat terasa. Saya ini ukur diabetes sama kolesterol itu nggak lama, satu jam saja bisa turun. Memang pada kasus berat dibutuhkan bantuan terapi selain minum ramuan agar memaksimalkan khasiatnya,” ucapnya.

Dengan komitmen menjaga kesehatan masyarakat ataupun mengobati pasien dengan penyakit ringan hingga degenerative (seperti diabetes, kanker, hipertensi, asam urat, dan kolesterol), Ning yakin pengolahan jamu dengan teknologi tinggi sangat membantu. Ia meneliti teknologi nano dalam ekstraksi jamu sejak 2013.

Ning sangat tertarik untuk menduniakan jamu, menduniakan mahkota dewa khususnya. Ning mengatakan, Indonesia begitu kaya. Ada 30 ribu jenis tanaman obat tersedia di Indonesia. Yang digunakan untuk pengobatan sudah 10 ribu jenis, yang digunakan untuk jamu itu belum mencapai seribu jenis tanaman.

Nantinya, obat-obatan tradisional Indonesia jika menggunakan teknologi terkini, tidak akan tergantung lagi pada negara barat. “Sangat yakin saya, apapun penyakit, obatnya ada di bumi Indonesia. Masalahnya hanya kita ngga yakin. Kita sendiri ngga percaya,” keluhnya.

Ke depan, lanjut Ning, Indonesia dalam pengobatan harusnya bisa sejajar dengan Tiongkok. Bahkan, bisa lebih dari Tiongkok yang hanya menempati peringkat nomor 4 dunia kategori pemilik tanaman obat.

“Indonesia nomor 2 untuk pemilik tanaman obat yang paling banyak. Kalau China penelitiannya terus menerus. Mereka juga tak ada persoalan halal-haram, sehingga bisa menggunakan bahan baku hewani sebagai obat. Kita, cukup adopsi teknologinya, bahan baku kita cukup kok,” paparnya.

Bekerjasama dengan komunitas Tangan Di Atas, Ning pernah buatkan pengobatan gratis untuk 300 nelayan dan masyarakat tidak mampu di Tanjung Priok akhir Januari 2015.

“Dengan tangan sendiri saya bikinkan bibit sambung nyawa, untuk dibagikan ke masyarakat sebagai bentuk ajakan untuk mencintai tanaman obat Indonesia. Sayangnya masih banyak yang kurang tahu, misalnya saja tanaman sambung nyawa, banyak yang tanya itu apa dan buat apa. Kendalanya saat ini, belum semua orang yakin dengan khasiat jamu,” ungkap Ning.

Selama 15 tahun malang melintang di industry pengolahan jamu, Ning merasa kendala terbesarnya adalah meraih kepercayaan masyarakat. Tak sedikit juga praktisi jamu yang nakal sehingga membuat marak peredaran jamu tak standar. Memng kejelian konsumen dibutuhkan disini.

“Konsumen kalau mau minum jamu, ya mbok cari tahu dulu, siapa sih yang membuat, produksi siapa? Apakah terpercaya? Sekarang masyarakat sudah mulai cerdas,” imbuhnya.

Ning meraih kepercayaan masyarakat tidak cukup hanya dengan bicara dan testimony. Dibutuhkan rekam medis yang membuat masyarakat percaya khasiat jamu ramuannya. Ia juga mengatakan, bahwa dirinya tak serta merta anti pengobatan medis. Baginya pengobatan tradisional tak masalah jika didampingkan dengan pengobatan medis.

Dari 100 jenis tanaman obat yang diolah Ning, Mahkota Dewa adalah jenis yang paling banyak digunakan. Baginya tanaman mahkota dewa merupakan panglima perang, dalam melawan penyakit.

Terkadang, Ning merasakan kesulitan pasokan bahan baku jika permintaan sedang tinggi. Permintaan jamu buatannya bisa mencapai 30 ribu botol per bulannya. Untuk itu Ning melakukan kemitraan dengan petani di beberapa daerah. Seperti di Ambarawa dan Magelang.

Kemitraan petani juga dilakukan sebagai cara pengawasan pengelolaan bahan baku. Dalam pengelolaannya Ning meminta petani untuk memproduksi bahan baku jamu dengan organic. Selain itu ia juga meminta petani aware dengan kebersihan.

“Selama ini petani belum terlalu aware dengan kebersihan. Contoh, memetik sambiroto, jemurnya dimana? Di pinggir jalan, kena debu, diinjak-injak. Kapan Indonesia bisa maju, jika daun-daun berkasiat malah jadi penyakit,” paparnya.

Dalam penerapan teknologi nano, Ning bekerjasama dengan LIPI. Teknologi ini masih terbilang mahal. Bayangkan, untuk membuat jamu berteknologi nano sebanyak 1kg ekstrak jamu butuh biaya Rp 1,5 juta. Untuk mengekstraknya Rp 500 ribu.

“Jadi untuk mengolah 1 kg ekstrak jamu menjadi jamu teknologi nano butuh biaya 2 juta rupiah. Tapi untuk setara dengan obat medis, langkah ini yang harus saya tempuh,” katanya.

Sebagian besar saat ini, lanjut Ning, masih menganggap jamu sebagai preventif dan promotif. Bukan kuratif. Jadi sifatnya hanya pencegahan dan promosi. Padahal kenyataannya jamu bisa setara dengan obat medis. pus/jss


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar