Diplomasi sawit Indonesia pekan kemarin melakukan misi dagang ke Karachi, Pakistan. Ini sebuah langkah brillian melihat peluang di tengah kelesuan pasar minyak nabati global, dan perang dagang AS-China yang tak berujung pangkal.
Pakistan merupakan pasar potensial. Ekspor minyak sawit mentah Indonesia dan Malaysia cukup tinggi dan konsisten ke negara ini. Begitu juga dengan minyak kedelai dari AS, serta minyak bunga matahari dari Ukraina.
Memang mata uang rupee Pakistan terdepresiasi dolar Amerika Serikat (AS), seperti rupiah Indonesia dan ringgit Malaysia. Namun begitu, negara ini mencatatkan diri sebagai importir minyak nabati yang prospektif. Di tahun ini tercatat impor minyak sawitnya naik hingga 20% dan impor minyak kedelai naik 82%.
Kenaikan permintaan Pakistan terhadap minyak nabati itu (minyak sawit, minyak kedelai dan minyak bunga matahari) memang terkesan aneh. Sebab di bulan April 2018 lalu negeri ini baru saja mengumumkan budget review untuk tahun 2018-2019.
Dalam angaran fiskal itu Pakistan memberikan ‘pengampunan pajak’ bagi uang-uang yang parkir di luar Pakistan. Negeri ini memberi kemudahan bagi yang melakukan itu, yang menarik uangnya dari negara-negara lain untuk ‘modal’ negeri ini membenahi sektor ekonominya.
Selain tentang target pertumbuhan ekonomi, dalam laporan itu juga terinci langkah negara ini untuk meraih targetnya dan melindungi petaninya. Di sektor ini muncul kenaikan pajak minyak nabati impor yang diperbarui.
Dalam pajak itu, minyak sawit mentah dan minyak bunga matahari tidak ada kenaikan. Minyak ini disebut sebagai berbeda, karena tidak berpengaruh terhadap minyak produk lokal.
Namun untuk impor minyak kedelai, Pakistan menaikkan pajaknya. Kenaikan itu cukup signifikan, karena dari 9.050 rupee Pakistan per Metrik Ton (PMT), bea masuk impor minyak kedelai naik menjadi 12.000 rupee Pakistan per metrik ton. Tetapi mengapa impor minyak kedelai yang mahal itu makin meninggi?
Ternyata itu karena nilai tukar dan dampak tidak langsung perang dagang China-AS, serta perubahan gaya hidup di dalam Negeri Pakistan sendiri.
Peningkatan 20% impor minyak sawit adalah dampak dari jatuhnya ringgit Malaysia sebagai mata uang di perdagangan minyak sawit mentah. Sedang jatuhnya harga minyak kedelai akibat pemberlakuan pajak impor China yang dinaikkan 25%. Gegara itu harga minyak kedelai di Pakistan jatuh hingga 41%.
Konsumsi minyak nabati Pakistan per kapita adalah sekitar 17 kilogram. Total konsumsi minyak dan lemak berdasar data tahun 2017 sekitar 4,41 juta ton. Ini naik dari 2,7 juta ton tahun 2015 menjadi 3,05 juta ton yang diasumsikan bakal terus tumbuh.
Pertumbuhan itu bisa dilihat dari gaya hidup di Pakistan. Dalam kalimat sederhana, di Pakistan sekarang, akibat pertumbuhan ekonominya, maka terjadi transisi dari makan di rumah untuk makan malam di luaran. Ini yang juga memacu pertumbuhan dan menekan defisit transaksi berjalan.
Dengan realitas itu, maka Pemerintah Pakistan rasanya tidak muluk-muluk jika menetapkan target pertumbuhan 6% hingga 6,2% untuk tahun 2018-2019. Dan bagi minyak sawit, itu merupakan pasar besar. Djoko Su'ud Sukahar