Kolom

Serat Suluk Gatolotjo (11) : Ini Mistik Vagina Representasi Dewa

Embok iku pangeran katon. Ibu itu Tuhan yang tampak. Kalimat itu sering terucap di desa-desa Jawa. Dengan kata lain, representasi Tuhan di dunia ini adalah ibu. Dia ‘pelahir’ kehidupan melalui gua garba, ‘gua kesucian’, dan dia pula yang dijadikan sesembahan. Pepunden.

Ini menunjukkan, bahwa dalam konsep lingga-yoni, kendati superioritas lelaki amat menonjol tetapi posisi ibu juga sangat ‘ditinggikan’. Dalam konsep ini asas keselarasan sangat penting. Harmonisasi diutamakan, tak perduli darinya menimbulkan disharmonisasi jika didekati melalui agama atau keyakinan tertentu.

Dalam persoalan ‘sakralitas vagina’, posisi ibu didramatisasi sebagai tuhan karena ’pelahir kehidupan’. Fungsi ibu adalah ‘tumbu’. Dia penyemai janin, ‘bibit manusia’. Tentang hubungan antara ‘bibit’ dengan ‘tumbu penyemai’ tidak banyak disoal. Itu karena yang tidak layak gampang menjadi layak jika digunakan ‘cara’ yang memungkinkan untuk membuatnya layak.

Sebab bagi keyakinan Jawa, ‘cara’ ini sangat fundamental. Baik dan buruk tidak bisa hanya didekati melalui kebaikan dan keburukan itu sendiri. Ada ‘cara’ penyampaian yang berlaku dan tepat agar kebaikan dan keburukan itu menjadi kebaikan.

Menariknya, ‘cara’ ini berlaku universal, termasuk dalam mensakralisasi vagina. ‘Kesakralan’ vagina itu sangat longgar. Bagi sebuah ritus, ‘tumbu’ dan ‘penutup tumbu’ tidak mengenal batas. ‘Moral’ dan ‘etika’ tidak cukup mampu membentengi.

Bahkan ‘tumbu dan penutup tumbu’ itu tak disoal dilakukan insan sedarah atau usia berbeda sangat jauh. Kakek dan perawan tidak masalah, adik dan kakak oke-oke saja, juga pasutri berganti pasangan atau ‘main seks’ keroyokan. Termasuk melibatkan hewan sebagai pasangan.

Dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwat Diyu, Begawan Abiyasa sah menggauli Dewi Sukesih. ‘Cara’ untuk ‘mengesahkan’ hubungan orangtua ini dengan gadis yang ditaksir puteranya itu adalah dengan ‘melibatkan’ Bathara Guru dan Dewi Uma. Bathara Guru dan permaisurinya dikisahkan bangkit nafsu birahinya ketika mantra kesempurnaan itu dibabar Abiyasa.

Pasutri yang terangsang itu akhirnya turun ke bumi. Bathara Guru menyusup dalam wadag Abiyasa. Sedang Dewi Uma menyusup ke dalam tubuh Dewi Sukaesih.

Tatkala Dewa dan Dewi itu berkasih mesra diteruskan melakukan hubungan intim, maka secara kasat mata itu adalah Begawan Abiyasa dan Dewi Sukaesih. Tubuh keduanya dipakai ‘sarana’ pelampiasan nafsu dewa.

Dalam Serat Ruwat Kidung Sudamala, hubungan seks tanpa terikat tali perkawinan itu juga berlangsung antara Sudamala (Sadewa) dengan Bethari Durga, yaitu Dewi Uma istri Bathara Guru yang sedang menjalani kutukan.

Ratu Istana Gondo Mayit itu akan terbebas dari kutukan jika datang seorang ksatria tampan rupawan yang rela kencan. Akhirnya masuklah Bathara Guru ke dalam wadag Sadewa, dan satria ini melayani ratu demit itu di tempat tidur. Bethari Durga kembali menjadi Dewi Uma yang cantik jelita, sedang Sadewa selamat, tak jadi dimangsa.

Tak ada yang menyalahkan ‘tragedi cinta terlarang’ ini. Permisifitas terjadi, karena ‘cara’ yang digunakan agar asusila itu menjadi ‘susila’ melalui dewa yang kehendaknya lebih superior dibanding manusia. Dalam Islam dikenal kun fayakun. Jika Allah berkehendak, jadi, maka jadilah ! Tak ada kekuatan manusia. Semua itu kehendak Tuhan.

Namun benarkah ‘sakralitas vagina’ dan ‘cara’ membolehkan yang tidak boleh itu hanya monopoli Jawa? Ternyata tidak. Di Sulawesi Utara, mitos Toar dan Lumimuut yang diakui sebagai cikal-bakal etnis Minahasa juga hampir sama. Termasuk mitos Sangkuriang di tatar Sunda. (Bersambung/Djoko Su’ud Sukahar)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar