Humaniora

Ruwatan Sudamala (12) : Bima dan Arjuna Kalah Perang

Raden Arjuna maju ke medan laga. Kedatangannya bersama pasukan disambut Kalanjaya. Kedua pasukan mulai berhadap-hadapan. Saling sesumbar untuk mengalahkan. Kendati, jarak dua pasukan ini masih berjauhan.

"Memang Arjuna seimbang melawan aku. Wahai tentara, jangan lengah terhadap Arjuna. Sebab siapa pun tahu, ia adalah pemanah yang tepat dan dapat merusak barisan. Untuk itu barisan muka harus hati-hati menerima serangannya."

Raden Arjuna mengamati pasukan Kalanjaya. Ia berancang-ancang, bagian mana dulu yang akan dijadikan sasaran panahnya. Ia berkata dengan dirinya sendiri. "Nah, itu Kalanjaya, barisan mukanya sangat banyak. Akan kuhabiskan tentara-tentara yang berada di depan itu. Mereka dulu yang akan menjadi sasaran anak panahku."

Raden Arjuna mulai memasang panahnya. Ia membidik dan kemudian melepaskan anak panahnya. Panah itu bukan main hebatnya. Panah-panah itu seperti air hujan. Mengalir deras. Banyak tentara yang tembus dadanya, putus batang lehernya, patah pahanya. Jatuh kepalanya berguling-guling di atas tanah, dan banyak pula yang patah pinggangnya.

Tak lama kemudian tampak mayat bertumpuk, dan darah memenuhi medan pertempuran. Raksasa-raksasa dan ditya-ditya banyak yang gugur. Mati berkelojotan. Kini tampak Kalanjaya. Besar badannya, berdiri garang sambil menunjuk-nunjuk dengan telunjuknya.

Kalanjaya marah bukan kepalang. Ia berkata dengan lantang. "Wahai Arjuna, tentaraku terpukul, sekarang aku sendiri akan balas dendam. Awas, kamu jangan meninggalkan gelanggang."

Saat itulah Kalanjaya melapaskan lembingnya. Namun demikian, lembing itu tak mengenai sasaran. Ia melihat itu. Tentara Pandawa tak ada yang terluka. Ia pun kian marah. Kalanjaya seperti singa yang sedang buas-buasnya. Ia berteriak-teriak, menjerit, memanggil-manggil, menyerang barisan, dan melepaskan lembingnya ke arah Raden Arjuna.

Raden Arjuna mengelak. Ia membalas dengan melepaskan panahnya. Panah itu mengenai dada Kalanjaya, tetapi tak terluka. Kalanjaya kemudian dihujani panah lagi. Tapi tubuhnya kebal, tebal tak luka oleh senjata panah. Kalanjaya malah bersumbar.

"Ha, ha, Dananjaya, tombaki aku. Hujani dengan panah-panahmu, aku tak akan menyingkir. Ah, Arjuna, kalau nanti aku dapat mengejar kamu, mustahil kamu akan hidup lagi."

Sesumbar Kalanjaya itu menyadarkan Arjuna. Ia kini tahu siasat Kalanjaya. Ia tak mau didekati. "Si Kalanjaya ini memang sakti. Biarlah aku lepasi panah-panah saja, agar patah tombak lembingnya."

Panah Arjuna pun mulai menghujani Kalanjaya. Leher, kepala, hidung, telinga, dan matanya tertembus panah, tetapi sangat mengejutkan, tak menimbulkan luka. Akibatnya Arjuna lari meninggalkan gelanggang.

Melihat pemandangan itu, Raden Bima maju." Siapakah yang kau lawan di medan perang itu. Mengapa sampai kamu lari?" Jawab Raden Arjuna. "Si Kalanjaya, kanda."

"Tinggallah di sini. Aku akan melawannya. Akan kutemui Si Kalanjaya dan Si Kalantaka. Dimana tempatnya? Memang sepantasnya mereka bertanding dengan aku.".

Kalanjaya sekarang melihat, bahwa Bima yang kini tampil ke muka. Ia pun berkata keras: "Nah, selamat datang, kau Bima. Sekarang kamu maju berperang. Seimbang kamu melawan aku". Segera Raden Werkodara mendekatinya. Lekas-lekas gada digenggamnya sambil berkata. "Mampus kamu Kalanjaya."

Kepala Kalanjaya dipukul dengan gada. Ia membalas dengan menusukkan tombaknya. Raden Bima kebal. Ia berkata: "Tusuk lagi aku dengan tombakmu".

Namun Raden Bima terperanjat karena Kalanjaya kini juga datang. Kalanjaya berteriak memanggil-manggil: "Bima jangan kamu meninggalkan medan perang.".

Raden Bima tahu sekarang, bahwa Kalantaka datang, maka ia memeluk gadanya sambil berkata: "Ah aku akan kalah karena Kalantaka memang sungguh-sungguh sakti. Raden Bima mundur dan berpapasan dengan Raden Arjuna.

Kata Raden Bima: "Lekas-lekas kita mundur saja, sekarang saya terdesak.". Jawab Raden Arjuna, "Baik, mari kita cepat kembali masuk dalam benteng. Tutup pintunya untuk musyawarah dulu."

Tapi Kalanjaya mengejar. Ia mengejek. "Wahai, mengapa kalian mundur?"

Mendengar ejekan itu Bima menjadi marah. Kalanjaya dipegang rambutnya, dibanting di atas batu hingga tubuhnya rata seperti tikar. Batu itu terbelah menjadi dua. Tapi begitu ditinggal, Kalanjaya bangun kembali. Dia berdiri mengikuti Bima dari belakang. "Ah, tunggulah saya, wahai Bima. Saya belum mati. Jangan kamu lari karena terdesak."

Setelah meninggalkan Kalanjaya, Raden Werkodara melihat Kalantaka ada di depannya. Ia pegang rambutnya, dicekik lehernya. Dan dipukul dengan gadanya. Tapi Kalantaka itu juga kebal. Kendati dicampakkan ke batu, ia tetap saja hidup. Pandawa pun akhirnya mundur.

Saat itulah Kalanjaya dan Kalantaka bersepakat untuk istirahat, karena menganggap sudah menjadi pemenang. "Baiknya kita beristirahat dulu. Nanti kalau kita sudah tidak jemu, kita serang lagi. Kita rusak kota dan benteng Pandawa itu." (jss/bersambung)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar