Serat Suluk Gatolotjo (7) : Ini Ramalan Jayabaya dan Datangnya Al-Masih

Serat Suluk Gatolotjo (7) : Ini Ramalan Jayabaya dan Datangnya Al-Masih

Di era Jayabaya Raja Kadiri (1135-1157), Empu Sedah ‘mentafsir’ Kakawin Bharatayuddha ke dalam bahasa Jawa pasaran. Langkah pujangga kraton itu tidak hanya mampu memberikan pemahaman meluas bagi agama kerajaan, tetapi juga efek mistis sebagai tujuan pujangga dalam mencipta.

Sastra puja itu berhasil mengangkat pamor raja sampai alam kadewatan. Raja dianggap sosok manusia sakti mandraguna dan sebagai perwujudan Dewa Wisnu.

Sebagai perwujudan dewa di bumi, maka apapun yang dilakukannya adalah sah. Tatkala raja melakukan ‘pembunuhan’ terhadap kakak kandungnya, tak ada yang menyoal. Langkah raja ‘mengakuisisi’ Kerajaan Panjalu melalui tragedi berdarah itu tidak memancing kekisruhan. Kerajaan ini dipersatukan kembali setelah sempat dipecah dua itu dapat diterima rakyat dua kerajaan.

‘Kejahatan’ raja itu bisa ‘dibenarkan’ karena cara yang digunakan Jayabaya menyentuh batin rakyat yang percaya sebagai perwujudan Dewa Wisnu.

Dengan memutar sedikit alur kidung Bhagawat-gita rakyat yakin, bahwa langkah raja sama dengan Bathara Kresna titisan Wisnu yang memberi wejangan Arjuna tatkala galau maju ke medan perang menghadapi saudaranya sendiri, Adipati Karna yang berada di pihak Kurawa.

Berkat sastra puja itu pengkultusan Raja Jayabaya tak lapuk ditelan jaman. Sampai sekarang nama sang raja selalu dikaitkan dengan mistisisme Gunung Kelud, Makam Pamenang yang diasumsikan sebagai lokasi mukswanya raja ini, Butalocaya makhluk gaib di Gua Selomangleng untuk ketentraman Kota Kediri yang sempat berdebat sengit dengan Sunan Bonang dalam Serat Darmo Gandul, hingga keyakinan Raja Jayabaya hidup kembali di akhir jaman yang dipandu Senopati Tunggul Wulung.

Mistisisme Jayabaya itu memang bertuah. Tuahnya bermanfaat membangun citra para spiritualis. Itu pula alasan mengapa nama Senopati di era Kadiri itu diadopsi Ngabdullah, ‘kiai Nasrani’, kiai se-aliran Sadrakh, yang menurut Van Akkeren adalah warga Pati yang semula Islam dan setelah berselisih paham itu memakai nama Tunggul Wulung.

‘Sang Kiai’ ini saat risau di daerahnya, dia merasa mendapat sasmita gaib dan melakukan perjalanan sampai ke Gunung Kelud. Dalam pengelanaan itu dia mendapatkan istri, Endang Sampurnawati, dan sejoli bersama-sama bertapa di gunung mistis itu dari tahun 1844-1851.

Saat 24 Januari 1851 Gunung Kelud meletus dengan hebatnya, Kiai Tunggul Wulung berhasil menyelamatkan diri. Sejak itu dia pindah agama, sebagai misionaris, penyebar agama Nasrani dengan ‘nuansa Jawa’. Sinkretisme (Kejawen) berbasis Nasrani.

Nama Tunggul Wulung dipakai ‘sang kiai’ karena mitos Jayabaya punya kemiripan dengan kisah kejadian Al Masih yang di hari akhir hidup kembali untuk melawan Dajjal. Pengkisahan ini dianggap klop dengan Raja Jayabaya yang diyakini akan kembali ke dunia lewat Gunung Kelud.

Mistisisme Raja Jayabaya yang berasal dari sastra puja itu laten dari jaman ke jaman. Jangka dengan nama raja ini juga tetap lestari. Berbagai penelitian yang dengan gamblang menyebut ‘jangka’ itu salahsatunya berasal dari Kitab Al Asror Sunan Giri Prapen di Jaman Mataram belum mampu ‘meyakinkan’ pengkultusnya.

Ramalan itu tetap dipercaya sebagai karya Sri Aji Jayabaya. Ini bukti, betapa hebatnya sastra puja dalam memotivasi pembaca dan pendengarnya.

Dalam Gatolotjo, ‘ajaran lingga-yoni’ itu juga disebarkan melalui pola sama. Dituangkan lewat pengkisahan. Bahasanya sederhana, dan saat penceritaan diikuti ritus suci. Prosesinya tidak jauh beda dengan Kitab Sudamala, serat ruwat yang tetap diuri-uri.

Melalui sastra puja itu kisah ‘asal usul manusia’ ini dibeber. Dengan bahasa mistis kelahiran manusia itu dibentang. Dan tidak bisa tidak, narasi kisah itu akhirnya memasuki balada pertemuan lingga yoni. Menyatunya kelamin laki-laki dan kelamin perempuan.

Jadinya, kendati tak sama, alur Gatolotjo akan memasuki fase seperti Serat Wirid Hidayat Jati karya Ronggowarsito. Agama Islam, Nabi, Tuhan, kematian, alam kubur, kembalinya roh digambarkan sebagai bagian dari organ intim manusia yang penyebutannya amat vulgar dan ‘kurang ajar’.  (bersambung/Djoko Su'ud Sukahar)

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index