Humaniora

Mebu Penghisap Darah (6-Habis) : Bawa Ayam Hidup Sebagai Tiket Masuk

Di tanah lapang itu dari berbagai penjuru berdatangan para jejaka dan gadis-gadis. Yang perjaka semuanya membawa oleh-oleh. Ada yang menenteng kelapa, jagung, buah-buahan, ayam hidup, dan apa saja yang mereka punya. Ini berfungsi sebagai tiket masuk untuk ikut dalam pesta remaja mencari jodoh.

Sebuah lagu cinta yang melankolis didendangkan. Nada lagu itu mirip-mirip lagu Makassar. Maklum, karena suku ini sebenarnya memang bukan suku asli. Mereka adalah Suku Laut yang dalam legenda ‘sedang mencari ratunya’ dan terdampar di pulau ini.

Sama dengan Bugis, Bajo, Sawai, dan suku laut yang lain, yang kemudian tinggal di daratan. Mereka berasal dari akar yang sama, meyakini berasal dari Semenanjung Malaka.

Lagu ria itu diiring gitar, kecapi, kendang yang mereka buat sendiri. Irama rancak bergema, ditimpa sayup-sayup debur ombak dan semilir angin yang memainkan daun-daun pohon kelapa yang hanya kelihatan hitam.

Musik pembuka itu berhenti, disusul kata-kata keras kepala suku yang duduk disamping saya. Setiap akhir kalimat kepala suku ini selalu disambut ‘he’eh’ secara bersama-sama.

Ketika pemandu melirik saya yang tidak ikut mengucapkan jawaban he’eh, dia pun menyikut bahu saya. Dia minta saya mengikuti hal yang sama, menyahuti ucapan kepala suku dengan kata-kata he’eh.

Malam makin larut, acara itu pun usai. Ketika saya tinggal berdua dengan pemandu, saya tanyakan padanya, apa maksud he’eh itu.

Saya juga tanya, kepala suku itu sedang memberi sambutan atau membaca doa. Jawabnya, kepala suku itu sedang memberi sambutan. Dan he’eh itu artinya mengiyakan. Mengamini petuah dari sang tetua, dan saya disuruh ikut ‘mengamini’ seperti yang lain. Nah kata-kata ini yang kemudian belakang hari menjadi masalah.

Di Malaka Timur, Betun, ‘he’eh artinya membenarkan. Sedang di Kewar, Belu, itu berarti berseks-ria. Beda makna ‘he’eh’ itu yang menerbitkan geli-geli apa gitu.

Inilah hambatan lain saking banyaknya suku di Pulau Timor. Selain Dawan dan Tetun yang dominan, juga ada Suku Kemak, Suku Bunak, dan masih puluhan lagi. Memang akibat itu Pulau Timor kaya tradisi. Tapi juga tidak dipungkiri, banyak hambatan dalam berkomunikasi.

He’eh saya ambil dari pengalaman di tahun sebelumnya. Ketika itu saya tinggal sehari semalam di Suku Malaka Timur, yang ada di Betun. Letak daerah ini ‘agak dekat’ dengan Ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Kota Kupang.

Saat bertandang ke suku ini, saya tertarik dengan rumah-rumah panggung mereka yang artistik. Rumah itu hanya terdiri dari rangka dan tiang. Kemudian untuk menutup sekeliling dibuat klini (sejenis anyaman rotan atau bambu). Maka jika ingin mengintip apa yang terjadi di dalam rumah, dikuak sedikit saja ujungnya sudah terlihat semuanya.

Klini ini warna-warni. Diambil dari warna dedaunan atau kulit pepohonan. Warna-warna alami itulah yang dipakai untuk menghias ‘dinding’ rumah, yang selain indah, juga mencolok dipandang mata. Ada pula rumah dengan klini polos. Tidak berwarna dan tampak kusam.

Selidik punya selidik, ternyata warna itu bukan tanpa makna. Warna itu tanda, bahwa di rumah itu ada anak gadisnya. Semakin banyak warna di klini, konon semakin tidak diragukan kecantikan penghuninya. Apalagi suku ini dikenal punya kulit bagus. Putih-putih.

Wajah-wajah cantik tidak sulit ditemui di suku ini. Mereka agresif, gampang mengajak berkenalan, bergurau, dan enak sebagai teman bicara. Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa kedua membuat tamu (saya) cepat tidak berjarak. Tetapi kenapa terbanyak dari mereka belum menikah?

Ternyata, tradisi suku ini pantang berjodoh sesama suku. Suku ini, yang gadis harus cari lelaki dari suku lain. Sebaliknya untuk perjakanya. Mereka berpegang teguh terhadap tradisi itu.

Alasannya, mereka yakin berasal dari satu keluarga. Kendati sudah turun-temurun, beranak-pinak, dan ratusan jumlahnya, mereka tetap kukuh memegang adat itu. Mereka tabu untuk saling berjodoh.

Di suku ini juga ada hambatan lain yang membuat gadis-gadis itu banyak yang lajang sampai tua. Suku ini menerapkan perkawinan non-belis. Perkawinan tanpa mahar.

Ini memang terdengar enak bagi lelaki. Tapi jika ditelaah, justru perkawinan seperti ini yang memberatkan. Mereka menjadi tergadai.

Lelaki yang menjadi menantu harus meng-cover seluruh pekerjaan di rumah istri. Mulai mengurus rumah, ladang, sampai ternak dalam rentang waktu panjang.

Kalau sudah punya anak, anak pertama harus diserahkan kepada mertua, sebagai ganti anaknya yang kita ambil sebagai istri. Itu yang menyandera gadis-gadis Malaka Timur sulit dipinang. (Habis/Djoko Su’ud Sukahar)

 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar