Kolom

Kolom Djoko Su'ud Sukahar : Menjaga Asap Itu Waiting for Godot

Hari-hari ini seluruh pihak yang terlibat dalam hutan dan perkebunan siaga penuh. Musim kemarau yang mencapai puncaknya hingga bulan Oktober melahirkan titik panas (hotpot) dan titik api (firespot). Titik-titik itu sudah ratusan jumlahnya, dan bertebaran dimana-mana.

Sisi lain di bulan Agustus, ada gawe nasional yang berskala internasional, yaitu gelaran Asian Games 2018. Event olahraga ini diadakan di dua kota, yaitu Jakarta dan Palembang, sebuah area yang banyak menyimpan tanah gambut, terbentang hingga Jambi, Sumatera Utara, dan Provinsi Riau.

Tanah gambut memang menyimpan bara. Tanah yang lunak dan lembab itu gampang bergesek ketika kandungan airnya mengering. Gesekan itu yang menimbulkan titik panas dan titik api. Ini yang rawan terjadinya kebakaran lahan atau hutan. Dari tahun ke tahun negeri ini berkutat untuk menjinakkan alam yang memanas itu.

Solusi untuk mengatasi ‘panasnya’ tanah gambut itu belum ada konklusi akhir. Kita masih berdebat soal penanganan tanah gambut ini, yang di dalamnya lebih bersifat politis ketimbang berpikir jernih, mencari jalan yang terbaik untuk bangsa dan negara ini.

Ada banyak keterlibatan asing dalam penanganan tanah gambut ini. Dana siluman mengalir pada pihak-pihak, juga dana lain yang bertopeng sigi serta penelitian.

Ada nuansa ‘bargaining’ agar kerusakan di belahan dunia sana bisa direcoveri alam yang ada di negeri ini. Tapi secara nasionalisme, semua itu adalah langkah memperlambat kemajuan dan kesejahteraan bangsa ini.

Gara-gara penanganan tanah gambut yang tidak jelas itu, maka kita terus menunggu saban tahun untuk menjinakkan api yang ditimbulkannya. Kita seperti aktor dalam ‘Waiting for Godot’, menunggu kesia-siaan. Mengapa disebut begitu?

Lihat tetangga kita Malaysia, Serawak. DR Lulie Melling yang berperan sebagai kepala penelitiannya dengan bangga menyebut Serawak tidak pernah dilanda kebakaran. Padahal tanahnya hampir semua adalah tanah gambut.

Malah tanah gambut itu semuanya ditanami kelapa sawit. Minyak kelapa sawit itu yang memberi pendapatan tinggi Pemerintah Malaysia, mensejahterakan, serta memakmurkan rakyat Serawak. Hanya dengan tanah tidak seberapa luas dibanding Indonesia, Malaysia mampu menempatkan diri sebagai penghasil minyak sawit nomor dua di dunia.

Kita, bulan-bulan ini, di musim kemarau ini, kembali bersiaga agar tanah gambut tidak kering. Kita harus menyiram dari darat maupun udara, tanpa perlu berpikir efekti atau high cost tidaknya. Helikopter water boombing berseliweran tanpa henti, dan seluruh pihak dilibatkan dalam kerja keras tanpa kenal waktu.

Apalagi ditambah dengan penyelenggaraan Asian Games 2018 yang berada di Palembang, maka muka Indonesia dipertaruhkan di dunia internasional. Jangan sampai ada kebakaran. Jangan sampai ada asap. Sebab itu bakal mencoreng muka negeri ini di dunia internasional.

Adakah kita harus terus begini, menunggu saban musim kemarau tiba agar tanah gambut tidak mengering dan terbakar? Oh, berpikir tentang ini saja sudah melelahkan, apalagi harus mengerjakannya secara phisik. Padahal ini sudah zaman digital lho, zaman dengan teknologi yang menyediakan segalanya menjadi bisa. Djoko Su’ud Sukahar


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar