Kebakaran terus terjadi. Hampir menjadi tradisi. Tiap tahun, di pemerintahan siapa saja, asap akibat kebakaran lahan itu tidak mampu diatasi. Sumatera dan Kalimantan gelap gulita. Juga negara tetangga kita, Malaysia dan Singapura. Ini Bale Sigala-gala kontemporer, asap buatan Patih Sengkuni?
Kemarau panjang belum selesai. Di berbagai kawasan kering kerontang. Hutan di Gunung Semeru terbakar. Gunung Lawu, Merbabu, Ciremai, sampai hutan jati di Banyumas bergantian membara. Lahan meranggas itu memerah saga, dan asap tebal mengepul memekatkan udara.
Terbakarnya lahan di gunung-gunung itu tidak ada yang membakar. Itu faktor alam. Sebagai negeri tropis itu lumrah. Panas menyemai timbulnya percik api menjadi bara. Dan ranting kering, rumput serta semak membesarkan percikan itu menjadi api yang meluluh-lantakkan segalanya.
Polusi udara ini teramat parah. Menyamai letusan Gunung Agung, Bali di tahun 60-an yang ‘menyamarkan’ wajah Kota Surabaya akibat debunya. Atau letusan Kelud tahun 2015 yang ‘menghilangkan’ Kota Blitar, Kediri dan sekitarnya.
Jika letusan gunung terdapat ke-tidakberdaya-an membendung lava yang ada di dalamnya, tidak begitu dengan kepekatan kali ini. Itu akibat titik api dalam tanah, gesekan antar-benda yang menimbulkan bara, sedang di Sumatera serta Kalimantan, ditambah pembakaran pembukaan lahan, dan pembakaran kebun akibat harga sawit yang murah. Kompleksitas itu yang membuat asap kali ini sangat pekat memenuhi udara.
Di Kalimantan dan Sumatera, kebakaran itu menjadi-jadi. Lahan gambut yang menyimpan panas dan melahirkan titik api ribuan jumlahnya. Tersebar merata di setiap provinsi. Maka jika kemarau tiba seperti sekarang ini, kebakaran lahan tidak bisa dihindari. Asap mengepul memperpendek jarak pandang. Memaksa rakyat memasuki alam rayap. Gelap gulita mengganggu aktifitas semuanya.
Namun kendati sama-sama kebakaran, tetapi asumsi melihat kebakaran itu ternyata berbeda. Di Jawa tidak disoal tesa dan antitesa kebakaran alamiah ini, tapi di Kalimantan dan Sumatera segalanya berubah. Ini menyulut berbagai problem, karena memang di kawasan ini punya simpanan masalah.
Kalimantan dan Sumatera adalah ladang perseteruan. Berbagai kepentingan dari tingkat lokal hingga global bertemu di area ini. Intrik menjamur. Fitnah subur. Perang saling ‘membunuh’ kepentingan berlangsung.
Dan lahan yang terbakar itu sebagai senjata, untuk menjustifikasi siapa yang harus disalahkan. Tidak heran jika kebakaran ini identik dengan Bale Sigala-gala. Persekutuan jahat kontemporer.
Bale Sigala-gala adalah kawasan indah yang dibangun untuk tujuan nista. Patih Sengkuni yang selalu gagal mencelakakan Pandawa, menjebak via undangan pesta.
Resort megah diciptakan di atas bukit. Pocutana mewujudkan istana itu. Arsitek ini disuruh membuat lantai dan dinding kayu yang rentan api. Bahan-bahan itu mudah meledak dan terbakar jika terkena api.
Namun Begawan Abiyasa yang berhati suci melihat dengan mata batinnya, bahwa ini untuk mencelakai Pandawa, keponakannya. Ia pun diam-diam menyusupkan seorang ksatria untuk membangun terowongan dari dalam istana ini, menembus bukit pada arah yang jauh.
Ketika istana ini dibakar dan Pandawa dikunci di dalam, terowongan ini jadi lorong penyelamat. Patih Sengkuni merasa yakin Pandawa mati terkubur di dalamnya. Dia berpikir keponakan-keponakannya Kurawa akan berkuasa di Astina. Dan tidak ada lagi pemilik sah yang selama ini menjadi duri dalam daging.
Asap di Sumatera dan Kalimantan adalah seperti itu. Moratorium yang digagas SBY kala itu diharap mampu menyelamatkan hutan, ternyata itu yang paling banyak terbakar. Lahan yang tidak terjaga merupakan sasaran empuk untuk dijarah. Tanah ‘tidak terjaga’ itu yang sekarang memberi sumbangan besar terhadap maraknya kabut asap.
Pembakarnya memang rakyat. Cukong dari luar mendanai aksi kriminal ini. Dari lahan itu mereka kelak berkebun tanpa diawasi dan terawasi. Maka hingga kini ratusan ‘pembakar’ lahan yang tertangkap dan menghuni sel itu adalah rakyat perorangan yang datang dari berbagai daerah.
Terus siapa cukong itu? Jangan terlalu jauh menduga. Cukong itu juga rakyat. Rakyat yang hidupnya sudah mapan, memanfaatkan sebagian dana sisa yang dipunyai untuk melakukan ‘investasi hitam’. Ini semacam diversifikasi usaha yang tidak menghitung untung rugi, apalagi harus pakai studi kelayakan.
Tetapi kenapa sekarang ini asap yang sudah bertahun-tahun menjadi masalah mulai tidak ada? Padahal harga tandan buah sawit sedang anjlok di bawah harga rata-rata?
Itu karena hukum mulai direvisi dan dipatuhi. Petani-petani dilarang bakar lahan, perusahaan diberi batas dan garis jelas, maka tidak perlu banyak koar, aturan itu tegak dengan sendirinya. Sebab segalanya akan mengikuti tonggak itu.
Bulan-bulan ini Indonesia akan punya gawe internasional. Asian Games 2018 diselenggarakan di dua kota, Jakarta dan Palembang. Jakarta tidak masalah, tetapi Palembang yang sering ‘berasap’ perlu diberi kewaspadaan ekstra.
Tapi saya yakin, bahwa asap akan bisa dijauhi. Itu karena para Sengkuni sudah mulai banyak yang jinak, juga mulai banyak yang takut kembali menciptakan huru-hara yang menjatuhkan martabat bangsa.
Semoga Asian Games 2018 bebas asap benar-benar terbukti. Djoko Su'ud Sukahar