Humaniora

Kakehan : Ajaran Sakti Suku Alifuru

Wajah-wajah cantik di Taniwel coreng-moreng. Tatto kelelawar dan burung elang memenuhi dahi, pelipis sampai hidung. Wajah jelita itu berubah seram. Mirip monster menakutkan. Itulah gambaran fisik pelaku ajaran sakti Kakehan, yang pernah dikembangkan Suku Alifuru di pedalaman Pulau Seram.

Untuk meruntut ajaran ini, memang sangat sulit. Hambatannya tetap saja sama, yaitu ketertutupan sikap Suku Alifuru. Di tahun-tahun itu, selama beberapa bulan, saya hidup menggelandang di berbagai suku yang ada di kawasan ini. Namun begitu, untuk mendapatkan informasi yang unik dan nyeleneh itu nyaris nol.

Memang, sebagai wartawan The Archipelago, saya mendapat bantuan seorang pemandu dari Pemda. Tapi tidak banyak membantu. Mereka pantang membuka itu karena pantangan adat. Takut sakit dan mati muda.

Untung, ajaran itu, kala itu masih hidup. Secara sembunyi-sembunyi beberapa ritual masih digelar. Dan karena ritus ini memerlukan tumbal, maka ajaran itu sempat mencuat ke permukaan. Ini pintu masuk untuk menguak, bagaimana suku ini menjalankan ritual itu.

Tahun 1980-an, di sebuah pantai utara Pulau Seram, terdapat beberapa bangunan yang dinamai rumah batu-batu. Disebut begitu, karena tempat tinggal yang dihuni suku ini, memang terbuat dari batu-batu karang ditata menjadi tempat tinggal.

Di rumah ini, mereka mengetrapkan mantera-mantera untuk mempertebal diri. Menyuguhkan korban manusia. Memilih secara ketat anggota suku. Mentatto wajah pria atau wanitanya. Dan menjalani gemblengan keras, baik fisik maupun mentalnya.

Selama tiga bulan mereka menjalani upacara itu. Belajar menjadi manusia yang kuat, tegar, tega bertindak sadis terhadap manusia lain. Kalau kemampuan itu sudah menyatu, maka mereka pun dikirim ke bukit-bukit, dan diwajibkan menyusuri sungai yang menjadi asal nenek moyangnya seraya menyakiti diri.

Kalaulah tiga bulan sudah dilalui, maka mereka yang terpilih ini pun berubah menjadi manusia baru. Manusia sakti dan pemberani. Manusia ksatria yang menjadi tulang punggung bagi pertahanan suku ini dalam berhadapan dengan komunitas lain. Dialah panglima perang.

Namun karena banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan oleh Kakehan, maka ajaran sakti suku Alifuru ini dalam perkembangannya kemudian sulit ditemukan. Tiap kali terdengar suku ini akan menggelar ritual itu, maka aparat pun siaga.

Masyarakat yang semula nomaden itu kemudian diberi tempat penampungan di Taniwel. Di tempat ini mereka diajari untuk bersosialisasi. Punya tempat tinggal, punya rumah, agar mereka kelak mengenal berangkat dan pulang ke tempat yang sama.

Kini, setelah puluhan tahun terlewati, suku ini tak banyak lagi yang ingat nama Kakehan itu. Sebab pernah di puluhan tahun lalu, bicara Kakehan di Pulau Seram seperti membicarakan hantu kematian. Itu karena kepentingan ritus membunuh lawan, juga aparat yang represif terhadap ajaran ini.

Bahkan di Taniwel sendiri, tetua-tetua yang masih menyisakan bekas ritus itu, tato di wajah, juga enggan menceritakan pengalaman kelabu di masa silam itu. Ini salahsatu sebab, hilangnya Kakehan dalam adat dan tradisi mereka. djoko su’ud sukahar


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar