Humaniora

Mengenal Somo Bawuk (8-Habis) : Misteri Calon Arang dan Ajaran Tantrayana

Kasus Sumo Bawuk merupakan fenomena yang sangat menarik untuk ditelusuri latar belakangnya. Tampaknya, kasus ini berkaitan dengan ajaran ilmu sesat warisan zaman pra-Islam (sebelum Islam masuk ke Tanah Jawa).

Fakta sejarah menunjukkan, bahwa dulu di daerah Kediri dan sekitarnya terdapat ajaran Tantrayana atau Tantris yang memuliakan lingga-yoni sebagai simbol pria dan wanita sekaligus manifestasi kesaktian dan kehebatan.

Meski dulu, tokoh ajaran Tantrayana yakni Nyai Calon Arang ditaklukkan Mpu Barada dan Prabu Airlangga, namun bukan berarti ajaran semacam itu musnah. Relief-relief di Candi Surawana dan Tigawangi serta Goa Selomangleng menunjukkan, bahwa ajaran itu sangat kuat berkembang di daerah ini. (Kasus Pemerkosaan di Kediri, Sebuah Telaah Kajian Sosio-Kultural-Religius, Agus Sunyoto, 1995).

Dalam berbagai literatur tentang ajaran Tantrayana seperti Kitab Tantrasara, Nilatantra, Sang Hyang Kamahayanan Mantrayana, Mahanirwanatantra menyebutkan, bahwa para penganut ajaran yoga-tantra akan mempunyai kekebalan tubuh dari senjata tajam. Bahkan pengikut sekte Bhirawa akan lebih dahsyat kekuatan mistisnya, yakni selain kebal senjata tajam, gesit gerakannya, juga dapat mengubah wujud.

Dalam sumber-sumber itu dijelaskan pula, bahwa untuk memperoleh kemampuan mistis itu seorang penganut aliran Bhirawa harus melakukan upacara Pancamakara atau Ma-Lima yang berunsur seksual (diantaranya bersetubuh).

Selain itu harus tidur dalam abu mayat sambil membaca mantera. Juga melakukan hasita, yakni tertawa dengan mulut terbuka lebar lalu melakukan nirtya (menari) yang seringkali meniru gerak sapi birahi.

Seorang penganut aliran Bhirawa yang sudah mencapai tahap bhumityaga yakni lepas dari bumi, dia setiap waktu bisa menghadap dewa. Tokoh legendaris yang dianggap sudah mencapai tahap ini adalah Bubuksah, yang memakan segala dan minum minuman keras, termasuk makan daging manusia dan minum darah manusia.

Tokoh ini melakukan tindak kanibal itu untuk melaksanakan upacara sakral. Relief kisah Bubuksah ini terdapat di Candi Tigawangi dan Candi Penataran.

Berdasarkan latar belakang religius dari masyarakat Kediri yang pernah menganut ajaran Tantrayana hingga pertengahan abad ke-19, bisa diasumsikan sisa-sisa ajarannya masih ada sampai sekarang.

Maraknya kasus perkosaan di Kediri yang dikaitkan dengan ilmu tolak-gaman yang mensyaratkan menyetubuhi gadis cilik, merupakan bukti ajaran Tantrayana belum punah.

Seperti juga Kasus Sumo Bawuk, dengan tokohnya Sumo Salidi yang dituduh sebagai guru ilmu kanoragan yang mengajarkan ilmu tolak-gaman itu, merupakan refleksi masyarakat setempat yang hanya secara samar-samar pernah mendengar adanya ilmu tolak-gaman yang bersyarat harus menyetubuhi gadis kecil. Kepercayaan ini nampaknya menjadi penyebab utama mengapa perkosaan terhadap gadis di bawah umur sangat marak di Kediri kala itu. (Habis/posmo/Djoko Su’ud Sukahar)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar