Kolom

CATATAN LEBARAN (2) : Uzlah di Gurun Thur, Kesendirian Al-Ghazali

Sendiri memang penting. Itu kalau kesendirian dipakai sebagai jalan menuju pada perbaikan hidup dan keimanan. Jika kesendirian tak diarahkan ke sana, itu namanya kesia-siaan. Yang kalau dipertalikan dengan kaidah syariat Islam, hukumnya makruh. Mubazir.

Dalam sejarah umat manusia tercatat, manusia brillian yang menapaki jalan zuhud seperti itu adalah imam Al Ghazali. Kesendirian ditempuh sebagai lahan penyubur iman. Mendekatkan diri dengan Sang Khalik, berusaha mendapatkan pencerahan dalam kesendiriannya.

Sufi dan intelektual muslim itu, dengan kesadaran tinggi meninggalkan keindahan duniawi. Gengsinya sebagai manusia terpandang dilepas. Harta kekayaan berlimpah yang dipunyai ditinggalkan. Dan anak serta istri terkasih pun dilupakan. Tanpa bekal apa-apa ia berangkat ke padang pasir, Gurun Thur, menjalani kehidupan sebagai manusia suci.

Era yang menaungi Al Ghazali memang zaman kelam. Islam masih ramai diperdebatkan. Tak cuma oleh kelompok lain, tetapi juga antar sesama Muslim.

'Kaum syariat' menyebut kehidupan para sufi yang mengamalkan 'paham hakekat' adalah salah dan menyimpang. Bahkan tak sedikit yang menuding musyrik. Hampir sama dengan nasib yang menimpa Al Hallaj. Naudzubillahi minzalik !

Tudingan 'kaum syariat' itu bisa dipahami. Sebab wilayah itu (tasauf), saat itu memang lagi keruh. Aliran mistik dan Aristotelian masuk ke dalam spiritualisme ini, dan melahirkan beragam ajaran.

Celakanya, di antara ajaran-ajaran itu, jika dirujuk berdasar Islam, terbanyak memang menyimpang. Akibatnya, para sufi yang dirundung kerinduan mencintai Allah ikut terkena imbasnya. Mereka menjadi kelompok yang tertuding. Dituding menyekutukan Tuhan.

Di saat-saat kritis 'perang' antara pengamal syariat dan para sufi itulah Al Ghazali datang. Ia pulang dari kesendirian di padang pasir selama sepuluh tahun. Ia kembali memasuki kehidupan 'nyata', dan mulailah memberikan banyak ceramah. Isinya, mengurai pangkal pertentangan antar sesama Muslim, dan memberikan pencerahan.

Kumpulan ceramah yang kemudian terdokumentasi dalam Tahafut al-falasifa' serta Ihya' ulumuddin itu memberi solusi. Menurut kitab yang monumental itu, pemeluk Islam yang baik mengerjakan ibadah berdasar syariat Islam. Dan jika itu dilakukan dengan sangat khusyuk, maka para pencari ridlo Allah itu akan terbawa ke wilayah di luar 'aturan formal' (tasauf yang transenden).

Hasil kesendirian Al Ghazali itu akhirnya membawa berkah bagi umat Islam se-dunia. Pikirannya yang jenius mampu menjadi jalan 'perdamaian'. Mengakhiri polemik keimanan yang tak berujung pangkal. Dan menghapus klaim antar kelompok yang menyebut paling benar dalam ritus ibadah menyembah Allah.

Sekarang kita sedang ramai-ramai mudik. Saat di kampung halaman nanti, mudah-mudahan batin kita makin jernih. Alam asri menstimulasi diri agar kian tegar dalam menghadapi tantangan zaman ke depan, tetapi juga tidak mudah terbius melakukan perbuatan yang hedonistis. Amin. (Djoko Su’ud Sukahar/bersambung)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar