Pernah dengar Pelet Marongge? Ilmu ini konon ampuhnya luar biasa. Siapa saja yang terkena pelet ini akan klepek-klepek. Tidak bisa pindah ke lain hati.
Hanya cara mendapatkannya yang membuat berdesir bulu perindu. Harus berendam di sungai, melepas celana dalam untuk dilarung, dan itu dilakukan tengah malam.
Ini bermula dari kisah Mbah Gabug. Dia adalah manusia sakti. Kibasan lokean (selendang) yang berjuluk Cindewulung adalah kesaktian itu. Buah kukuk yang semula terbawa arus saja akhirnya kembali melawan arus dan loncat ke sebuah cadas yang berbentuk meja.
Hingga kini cadas itu dikenal sebagai Cadas Meja, terletak di kampung Parunggawul Desa Bonang, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Majalengka. Dari kejadian itu timbul ajian yang dikenal sebagai Si Kukuk Mudik. Ajian ini juga disebut sebagai ‘Pelet Marongge’ yang konon ampuh menambah daya tarik itu.
Marongge
Saking saktinya, banyak yang berupaya menaklukkan Mbah Gabug, tapi tak ada yang berhasil. Tak seorang pangeran pun yang menang. Mbah Gabug maupun ketiga adiknya yang cewek-cewek adalah juara abadi. Itu berkat selendang Sakti Cindewulung.
Suatu ketika, Mbah Gabug pergi tanpa pamit. Selama 3 tahun 41 hari, hingga ketiga saudaranya kehilangan. Mereka mencari sampai ke suatu hutan lebat. Disana Mbah Gabug ditemukan dalam keadaan tafakur seperti sudah hendak mati.
Pada saat bersamaan, terdengar suara gaib. Suara itu menyuruh tiga adik Mbah Gabug mencari ‘kilaja susu munding’ (buah mirip melinjo yang bentuknya sebesar susu kambing) untuk obat. Setelah diminumkan, Mbah Gabug sembuh.
Tak lama suara gaib itu terdengar lagi. Kali ini empunya suara memperkenalkan diri sebagai Haji Putih Jaga Riksa, penunggu Gunung Hade.
Ia mengatakan, suatu saat keempat wanita ini akan menetap di tempat itu untuk selamanya. Tempat itu akan banyak dikunjungi orang yang mengalami kesusahan. Terutama dalam soal jodoh dan percintaan.
Suatu hari mereka ziarah kembali ke tempat terdengarnya suara Haji Putih Jaga Riksa. Mbah Gabug menyuruh ketiga adiknya menggali bekas Mbah Gabug terbaring dulu. Selesai, Mbah Gabug masuk dan memerintahkan adiknya menutup lubang itu dengan rengge (sejenis ranting bambu haur). Sedangkan ketiga adiknya disuruh pulang.
Karena penasaran, menjelang tengah malam, Mbah Serayu, Naidah dan Naibah, adik-adik Mbah Gabug itu kembali. Mereka terkejut ketika dari tempat itu terlihat merong (cahaya memancar). Tubuh Mbah Gabug sudah tidak kelihatan lagi.
Dari kisah inilah kemudian tempat itu disebut Marongge. Berasal dari kata ‘merong’ dan ‘rengge’. Sejak itu pula dikenal sebagai daerah keramat Marongge, yang banyak dikunjungi orang kesusahan.
Nyacap Ajian
Bagaimana mendapatkan pelet Marongge? Menurut kuncen tempat keramat itu, mereka yang meyakini, harus mengikuti prosesi yang puncaknya pada malam Jumat Kliwon. Ritual itu disebut ‘nyacap ajian’ (cara memperoleh ajian).
Biasanya, sejak Kamis pagi peserta sudah berdatangan. Sebelum acara puncak yang berakhir dengan mandi beramai-ramai di Sungai Cilutung, peserta harus melakukan ‘tawasul’ di makam Mbah Gabug, sambil mengungkap hajat masing-masing.
Acara tawasul dibimbing kuncen Marongge. Menjelang tengah malam, seluruh peserta berbaris menuju Sungai Cilutung. Jaraknya sekitar 400 meter dari makam keramat Marongge.
Dalam kegelapan malam, mereka bergerak melintasi jalan Tolengas-Cijeungjing. Menyusup ke gang kecil perkampungan penduduk, hingga mencapai Sungai Cilutung yang lebarnya 50 meter.
Seluruh peserta turun ke sungai yang airnya tidak terlalu dalam. Sambil mandi dan berendam, mereka membaca mantera yang diberi kuncen, dan mengungkap segala yang diinginkan. Acara berendam ini yang paling penting dalam prosesi ziarah ke Marongge.
Mendekati usai acara, mereka diharuskan melepaskan pakaian dalamnya. Lalu dihanyutkan di sungai itu sebagai lambang membuang sial. Prosesi ‘nyacap ajian’ pun selesai.
Keluar dari dalam sungai, peserta bak memasuki babak baru dalam hidupnya. Ada semangat membara dan keyakinan. Yang ingin dapat jodoh percaya, bahwa dirinya bertambah cantik atau ganteng. Sedangkan yang ingin hidupnya maju keyakinan dirinya semakin kuat.
Ny Elly, ibu rumah tangga warga Sumedang, hampir tiap tahun melakukan ziarah. Selain saat ‘kliwonan’, hari biasa pun dia sering datang dan bermalam sampai beberapa hari. “Kita ini banyak keperluan-keperluan hidup,”tuturnya diplomatis.
Memang, setelah ziarah di makam keramat Marongge, ibu ini bilang, banyak urusannya lancar. Termasuk ketika sedang membangun rumah yang saat itu sempat tersendat-sendat karena krisis keuangan.
Terus, ada tidak isyarat terkabul-tidaknya saat melakukan ritual itu? Menurut Dedi, bila maksud peziarah diijabahi (dikabulkan), seketika juga akan terlihat isyaratnya.
Saat berendam, dia akan didekati wanita cantik. Wanita itu sambil tersipu mengajak untuk saling bertukar celana dalam. “Kalau saya sih tidak begitu yakin itu berasal dari mana. Bisa jadi perempuan itu peserta ziarah atau memang keajaiban,”imbuhnya. ek/jss