Dikisahkan, pada suatu saat Rabi’ah terbaring sakit. Ia tak mampu melakukan salat malam seperti biasanya. Ketika sakitnya agak membaik, kendati tubuhnya masih lemah, Rabi’ah mengganti seluruh salat malamnya yang luput itu pada siang hari.
Pada saat itulah ia mengalami peristiwa aneh. Ia menuturkan pengalaman yang dialaminya itu. “Pada suatu malam, ketika aku tidur, rasanya aku dibawa ke sebuah taman yang hijau dan rindang. Di dalamnya berdiri pula sebuah istana dan tanaman-tanaman yang indah. Ketika kujelajahi taman itu, sambil terkagum-kagum akan keindahannya, kulihat seekor burung berwarna hijau. Burung itu ternyata diburu oleh seorang anak gadis yang sangat cantik. Serta-merta aku berkata, “Untuk apa engkau memburu burung itu? Biarkanlah, aku belum pernah melihat burung seindah itu.”
Sang gadis tersenyum dan menjawab. “Maukah engkau kutunjukkan sesuatu yang lebih indah dari itu? Lalu ia pun memegang erat tanganku, sambil keliling taman. Akhirnya ia membawaku ke pintu gerbang sebuah istana yang sangat megah. Menyambut kedatangan sang gadis, gerbang istana terbuka dengan sendirinya. Setelah terbuka, terpancar cahaya maha terang mempersilahkanku masuk.
Setelah masuk aku melihat betapa indahnya istana ini. Keindahannya tak tertandingi oleh apa pun yang ada di dunia.
Beberapa saat aku mengelilinginya, sampailah aku pada gerbang yang menghubungkan sebuah taman yang berbeda. Si gadis tadi ragu-ragu untuk mendekati gerbang. Tiba-tiba kami dihampiri oleh serombongan yang raut mukanya sangat indah bagaikan mutiara. Di tangan mereka tergenggam ranting pohon gaharu. Si gadis bertanya pada mereka, “apa yang sedang kalian cari?”
“Kami mencari seseorang yang telah tenggelam dalam lautan sebagai martir (orang yang menderita bagi agama),” jawab mereka. Lalu si gadis kembali bertanya, “apakah kalian tak menemukannya dalam figur wanita ini (Rabi’ah)?”
Mereka menjawab. “Sebenarnya ia telah mempunyai kapasitas untuk itu, namun sayang ia meninggalkannya.”
Seketika si gadis melepas tangan Rabi’ah dan berkata padanya, “Salatmu adalah cahaya penerang, namun penyembahanmu terhenti. Tidurmu adalah musuh abadi salatmu. Hidupmu adalah kesempatan dan persiapanmu, namun engkau sia-siakan. Hidupmu itu akan berlanjut namun lambat laun pasti meredup.”
Rabi’ah menuturkan. “Si gadis akhirnya menghilang. Bersamaan dengan itu ia terbangun, tepat pada subuh dini hari. Aku pun sadar akan kesalahanku.”
Menurut pembantu Rabi’ah, sejak saat itu Rabi’ah tak pernah tidur pada malam hari hingga akhir hayatnya. Saban malam ia pergi naik ke atas lotengnya untuk berdoa dan melakukan salat. (jss/bersambung)