Saat-saat manis yang direguk Jalaluddin bersama gurunya ternyata tidak bertahan lama. Datang lagi fitnah baru. Dan orang yang turut andil dalam fitnah itu adalah putra Jalaluddin sendiri, bersama Syalbi Alauddin. Untuk yang kedua kalinya Syamsuddin harus angkat kaki dari bumi Kauniyah.
Jalaluddin benar-benar terpukul menerima kenyataan getir itu. Perilakunya yang bagai orang gila kambuh lagi. Setiap orang yang ikut ambil bagian menyakiti Syamsuddin dimarahi dan diusir. Untungnya, kali ini Jalaluddin masih tetap aktif mengajar. Peristiwa itu terjadi pada tahun 645 Hijriyah.
Kemudian, Jalaluddin berusaha mencari gurunya ke segenap penjuru. Dan setiap kali orang yang dicarinya itu tak ditemukan, tingkah lakunya berubah. Dia tak bisa tinggal lama-lama di tempat pengajarannya.
Bagai seekor ternak, setiap harinya dia mengitari kompleks perguruannya. Kerjanya setiap hari hanya membaca sajak dan menyusun kasidah-kasidah panjang.
Jika ada orang menginformasikan sang guru atau malahan sempat bersua di suatu tempat, Jalaluddin segera melepas pakaiannya dan diberikan pada mereka sebagai hadiah ucapan terima kasih.
Jalaluddin lalu pergi ke Negeri Syam. Tujuannya tetap, untuk mencari Syamsuddin. Tak bosan-bosan dia mencari dan mencari. Dalam pengembaraannya itu dia ditemani oleh beberapa sahabat.
Ketika Jalaluddin bersama para sahabatnya sampai di Damaskus, penduduk setempat menyambutnya dengan penuh hormat dan rasa ingin tahu. Mereka sangat gandrung terhadap tokoh satu ini. Ada di antara warga yang dengan takjub berkata. “Bagaimana orang yang sedemikian pintar, dinamis, dan alim, bisa kebingungan?” (jss/bersambung)