Saat itulah Chaerea mendekati Caligula. Dengan mimik dingin ia menyabetkan pedangnya ke tubuh Caligula. Dua sabetan membuat raja ini ambruk bermandi darah. Caligula merintih kesakitan. Mukanya memelas minta tak dibunuh.
Ketika melihat suaminya ditebas pedang, Caesonia berusaha membantu. Ia maju ke depan. Tapi dengan taktis Chaerea menusukkan pedang itu ke perut Caesonia. Permaisuri ini tewas di tempat. Ia berkalang tanah bersama suami tercinta.
Prajurit-prajurit Romawi yang lama menyimpan dendam mulai ikut bergerak. Raja yang sudah tak berdaya itu ramai-ramai dibantai. Tombak yang dibawanya dipakai untuk mencacah tubuh raja lalim ini. Dan hanya dalam hitungan detik, raja yang hanya berkuasa singkat itu pun mangkat. Ia mati tragis, dibunuh menteri dan rakyatnya sendiri. Tapi bagaimana nasib anak Caligula yang masih kecil itu?
Rakyat Romawi nampaknya tak mau menyimpan bara api. Ia tak ingin meninggalkan sedikit pun sisa-sisa dari keturunan Caligula. Untuk itu, dalam waktu bersamaan, gadis cilik yang sedang digendong pembantunya itu pun dihabisi. Kepalanya dipenggal, dijadikan sebagai puncak dari prosesi ritual persembahan darah.
Suasana di altar itu pun mencekam. Para menteri yang lain takut dan bingung. Mereka khawatir bakal ikut menjadi korban dari kudeta berdarah itu. Dan ini disadari betul oleh Longinus maupun Chaerea yang menjadi otak dari kudeta berdarah ini.
Ketika tak jelas siapa yang bakal muncul memimpin Romawi, Longinus pun menyuruh beberapa prajurit untuk membawa mahkota lambang penguasa Romawi. Mahkota itu tak dipakai menteri keuangan ini atau Chaerea, menteri pertahanan, tetapi dipakaikan di kepala Claudius. Kini terjawab sudah teka-teki siapa yang memerintah Romawi.
Longinus maupun Chaerea ternyata tak ambisius. Ia hanya ingin Romawi berjalan sesuai tatanan sebuah kerajaan. Ia hanya ingin hidup dan kehidupannya berjalan baik. Tanpa keresahan dan ketakutan. Namun benarkah setelah Caligula meninggal kerajaan Romawi menjadi aman, tentram dan sejahtera? Sejarah menjawabnya. (jss/habis)