Politik

Mengakrabi Pengemis di Kota Mahal Mumbay

Hidup di Kota Mumbay India, rasanya seperti ada di tengah aksi unjukrasa. Ramai, sesak dan pengap. Itu karena saking banyaknya manusia. Hanya ada jalan-jalan tertentu yang agak lengang. Suasana seperti itu terjadi sejak pagi buta hingga larut malam. Lalu-lalang orang sambung-menyambung. Berjalan cepat-cepat sambil bicara. Ditimpa bunyi klakson mobil yang tidak henti-henti. Keriuhan itu mereda ketika sudah pukul 12 malam. Namun di tengah hari, situasi agak lengang. Di siang hari itulah saya biasa jalan-jalan. Keluar hotel dan menyusuri berbagai kawasan. Melihat dan berusaha menyelami kehidupan di kota yang mahal ini. Di Kota Mumbay, orang kaya dan miskin menumpuk. Yang kaya bebas pamer kekayaannya. Dan yang miskin juga sama. Maka jika melihat gedung-gedung megah, kita akan kaget, karena di bawahnya, di emper-emper gedung itu juga berdiri rumah-rumah kardus. Kota ini hidup 24 jam. Itu karena Mumbay dipakai sebagai pintu keluar masuk barang dari dan ke India. Ekspor dan impor melalui Mumbay. Untuk itu jangan kaget jika pelabuhan dan bandara tidak pernah tutup. Malah di bandara Mumbay, Chhatrapati Shivaji (Sahar), antrian orang masuk untuk pemeriksaan dokumen itu mengular. Riuh. Itu saking padatnya arus kedatangan melalui kota ini. Beda jauh dengan New Delhi yang berfungsi khusus sebagai kota pemerintahan. Ini rasanya bisa dicontoh Indonesia. Otonomi daerah harus ada kekhususan. Tidak tiap daerah dibebaskan suka-suka. Hingga untuk urusan lombok (cabai) saja, kadang mahal kadang tidak ada yang beli. Itu karena setiap daerah bebas menanam jika komoditas itu sedang mahal di pasaran. Di India, tiap negara bagian diberi hak khusus untuk urusan tertentu. Misal Mumbay sebagai keluar masuk barang ekspor dan impor negeri ini. Kota Pune dikhususkan industri dan pengembangan teknologi. Agra khusus daerah wisata. Bhopal teknologi strategis. Dan New Delhi khusus untuk ibukota dan kota pendidikan, hingga suasananya lebih ayem ketimbang daerah yang lain. Sebagai kota yang riuh dan sesak, Kota Mumbay menyimpan dampak dari dinamika itu. Pelacuran terbuka di kota ini, di Nalbazar, juga banyak kaum miskin menjadi pengemis untuk bertahan hidup. Konsentrasi pengemis itu terbanyak ada di Darga Ali. Ini sebuah makam ulama Islam, yang letaknya menjorok di tengah laut. Oleh pemerrintah India dibangun jalan beton menuju makam itu. Di sepanjang jalan beton itulah pengemis bertebaran. Pengemis-pengemis ini membuat kita jijik. Mereka makan tidak pakai alas (piring), tetapi makanannya, nasi yang diberi kuah gulai itu ditaruh begitu saja di jalan beton itu. Makanan itu disantap ramai-ramai. Kuah gule ini disukai seluruh India, hingga dimana-mana bau gule. Gara-gara melihat mereka makan, saya jadi nek untuk makan nasi dan gule. Selama jalan-jalan di India, saya beli kue-kue kering India yang beraneka rasa itu, dan kue itu saya makan ketika merasa lapar. Pengemis-pengemis itu sangat beda dengan di Indonesia. Yang membedakan adalah pakaiannya. Jika di Indonesia baju pengemis itu bagus dan bersih, di India bajunya sudah tidak tampak motifnya. Saking dekil dan kumalnya, semula saya pikir dia orang gila. Suatu hari saya bertemu seorang pengemis di Jalan Haji Ali, tengah Kota Mumbay. Dengan bahasanya dia minta derma. Saya ingin menikmati gaya pengemis yang terus ngoceh ini. Saya duduk di jalanan sambil tersenyum. Dia terus bicara sambil memainkan tangan, dan memegang perut serta mulutnya. Secara instingtif saya tahu, bahwa dia sedang lapar dan haus. Kebetulan saya banyak uang receh. Itu karena bingung lihat uang India, maka tiap membeli sesuatu saya selalu membayarnya dengan uang kertas yang nilainya besar. Saya dapat kembalian uang receh-receh tadi. Saking banyaknya uang receh itu, sampai sekarang saya masih menyimpan recehan-recehan itu. Yang saya ingat, tiap Rupee India nilainya sama dengan Rp 400,-. Maka pengemis itu saya kasih 5 Rupee. Apa reaksinya? Pengemis itu yang sekarang tersenyum sambil mengembalikan uang itu. Akhirnya saya mengambil recehan banyak, dan saya taruh di tangan. Dia saya suruh ambil sendiri uang yang dibutuhkannya. Dia hanya ambil 15 Rupee. Dia cium kaki saya yang cepat-cepat saya tarik. Dia ganti cium tangan saya, dan berjalan pergi sambil bilang ‘milktea’. Maksudnya adalah dia akan beli teh susu, minuman kesukaan warga India. Djoko Su’ud Sukahar


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar