Politik

Burung Surga (46) : Ki Patih Ditelanjangi Para Maling

Prajurit yang ditugasi sudah berangkat dan sampai di tepi hutan. Ketiga pencuri sedang menunggu Maling Hebat. Karena tidak menyangka akan tiba prajurit kerajaan, mereka dengan mudah ditangkap dan diborgol. Ketiganya segera digiring. Mereka dihadapkan kepada Sang Prabu. Begitu melihat siapa Sang Prabu, ketiga Maling Sakti itu pun terkejut dan penuh ketakutan. Sang Prabu lalu bertanya kepada ketiganya, dimana rumahnya dan siapa namanya. Dengan gemetar ketiganya menyampaikan permintaan maaf kepada Sang Prabu dan dengan tuntas menjelaskan siapa ketiganya. Sang Raja lalu bertanya tentang barang yang mereka curi. Milik siapa dan dimana mereka mencuri. Maling Pintar menjelaskan, bahwa barang itu miliknya juragan kaya si sahabat Ki Patih. Sang Prabu segera mengutus memanggil sang juragan bersama Ki Patih. Keduanya segera tiba dan Ki Patih pun sungkem di hadapan Sang raja. Kepada keduanya sang Raja bertanya, apakah ini koper sang juragan? Sang juragan menyembah lalu menjawab, bahwa koper itu memang miliknya. Koper itu lalu diminta agar dibuka segera. Sang Raja memeriksa isi koper itu, yang terdiri dari intan berlian dan emas serta benda berharga lainnya. Di antara barang-barang itu terdapat sebuah gulungan kertas. Sang Raja mengambil kertas itu dan membaca. Isi kertas gulungan itu ialah perjanjian sang juragan dan Ki Patih. Jika Ki Patih berhasil melakukan pemberontakan dan menjadi raja, maka sang juragan akan diangkat menjadi patih. Bagaikan disambar petir, Ki Patih dan sang juragan melihat surat perjanjian itu dibaca Sang Prabu. Ki Patih dan juragan segera ditangkap para prajurit, dan dimasukkan ke dalam penjara. Hari telah berganti, Ki Patih dan juragan telah dijatuhi hukuman oleh hakim kerajaan dengan hukuman pembuangan. Ketiga maling itu lalu dilepas dan diberi ampunan Sang Raja. Sang Prabu berucap, bahwa sebelum mereka berangkat mencuri mereka telah berjanji, jika mereka tertangkap akan mampu membebaskan. Untuk itu jika ketiganya mau, Sang Raja meminta mereka  menjadi prajurit kerajaan. Kisah itu menggambarkan keadaan zaman sekarang. Banyak priyayi tidak lagi perduli pada bawahannya. Jika bawahan bersalah, mereka dihukum dengan berat dan didenda dengan harapan agar memperoleh pujian dari penguasa. Tidak boleh bawahan makan bersama tuannya, dan jika itu dilakukan maka bawahan itu akan segera ditahan di kantor distrik. Mereka tidak memahami maksud dongeng Kiai Sempono yang menggambarkan orang yang cinta ilmu mencari jalan mendekati Allah. Siang-malam terus-menerus beribadah hanya karena tawadlu kepada Allah. Bagai kaca sang bayangan kembali kepada Hyang Manon karena telah terlepas dari kepentingan duniawi. (jss/bersambung)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar