Satu demi satu mulai berguguran. Satu demi satu mulai memuji kelapa sawit Indonesia dan Malaysia sebagai yang terbaik dan tidak tergantikan. Itu kontras dengan tahun kemarin, yang menghajar kelapa sawit sebagai ‘virus’ berbahaya bagi dunia.
Pendukung Resolusi Parlemen Uni Eropa (UE) yang melarang kelapa sawit dan turunannya masuk UE itu kini mulai rontok. Inggris lebih dulu menolak itu disusul Prancis. Dan setelahnya diikuti Italia, Belanda, Jerman dan Spanyol dalam jejak yang sama.
Melihat antusiasme negara-negara besar Eropa mencabut dukungan terhadap kesepakatan UE itu membersitkan satu harapan, bahwa kesepakatan itu tidak bakalan mengerucut menjadi undang-undang. Undang-Undang Uni Eropa yang wajib dipatuhi semua negara-negara Eropa.
Artinya, Uni Eropa kembali menerima produk kelapa sawit dan turunannya menjadi bagian dari kehidupan mereka. Dan keributan yang menuding sawit sebagai ‘virus berbahaya’ dengan sendirinya sirna.
Jika itu terjadi, tata dagang dunia kembali tenang seperti sediakala. Uni Eropa bersama Indonesia dan Malaysia sebagai produsen utama sawit dan produk turunannya duduk seiring. Tergambar tata tentrem karta raharja, kendati masih menyisakan satu pertanyaan, kenapa itu berada di area yang masih gung liwang-liwung ya. Dalam ketidak-jelasan.
Ini anti-klimaks. Bak pagelaran wayang, resolusi Parlemen Eropa itu pemantik ‘perang kembang’. Sekarang memasuki etape goro-goro. Sebuah area katarsis, melihat segalanya dalam kacamata kepentingan negara, sebelum ‘perang’ sesungguhnya terjadi.
Kendati soal sawit dan Uni Eropa itu bukanlah pagelaran wayang, tetapi ini realitas yang tidak bisa diakhiri satu episode. Ini adalah sekuel, membentang panjang berseri-seri, yang mungkin saja endingnya nanti ketika bumi rusak, atau planet baru ditemukan hingga manusia tidak lagi berhimpitan di bumi.
Dalam sejarahnya, Eropa adalah ‘perusak’. Mereka destruksi. Kearifan yang ada di timur menjadi materialisme saat berada di tangan mereka. Itu terlihat dalam lintas sejarah China penemu serbuk mesiu (500 tahun Sebelum Masehi), hanya dijadikan mercon untuk tradisi dan adat Tionghoa. Namun bubuk itu akhirnya berubah menjadi mesin pembunuh di tangan Eropa. Lihat Hiroshima dan Nagasaki yang luluh-lantak.
Jangan lagi didebat, bahwa Einstein itu Amerika Serikat, bukan Eropa. Tapi coba buka lagi buku Thomas Sowell, Mozaik America, yang mengisahkan kembali bagaimana gelombang imigrasi ke benua baru itu mula terjadi.
Eropa adalah petualang hebat. Dari mahalnya harga rempah-rempah yang dipasok pedagang China melalui Jalur Sutra (The Silk Road), Portugis dan Spanyol berlomba untuk mencari itu melalui dua arah. Satu lewat jalur utara, yang satu melalui jalur selatan. Mereka bertemu di Selat Halmahera.
Di kawasan ini sudah berdiri megah lima kerajaan kekerabatan. Kedatangan dua bangsa itu mengubah segalanya. Perang dan perang tersulut di kawasan ini. Sampai akhirnya sebuah kerajaan hilang, yaitu Moro, yang kuat dugaan itu adalah Suku Moro yang kini berada di Philipina sekarang.
Sebagai ‘bangsa perusak’ di zaman baheula, ternyata dalam tata kolonialisme yang dijalankan juga sangat destruktif. Mereka melakukan ‘siksa dan keruk’ saat berkuasa, dan kalaulah dipaksa meninggalkan negara jajahan, mereka selalu menyisakan ‘konflik masa depan’.
Lihat revolusi India yang memerdekaan diri menjadi beberapa negara lain yang mandiri. Sampai sekarang mereka terus ‘berkelahi’ karena wilayah Jammu dan Kashmir. Itu karena Inggris ‘memberi’ wilayah India ada di ‘wilayah’ Pakistan, sedang ‘wilayah’ Pakistan berada di India.
Di Indonesia juga ada kawasan yang punya ‘kerentanan’ seperti ini, yaitu Kabupaten Ambeno yang sekarang masuk Timor Leste. Daerah ini berada di wilayah Indonesia, hasil barter Portugis dengan Belanda saat mereka menjajah. Tapi apa hubungan semua itu dengan kelapa sawit?
Eropa memang bukan China. Tapi sudah ratusan tahun lalu, Eropa mengemban politik Sam Kok. Paham ini memberi garis tegas, bahwa untuk memenangkan persaingan dibutuhkan tiga kekuatan. Pertama kawan, kedua menciptakan kawan seakan lawan, dan ketiga adalah oportunisme. Pihak yang sikapnya disetting untuk mencla-mencle.
Nah di remote politik kelapa sawit yang sangat dinamis ini adakah kita sudah punya itu untuk control? Benarkah Malaysia dan Thailand itu adalah teman? Adakah EPOA yang ada di Eropa itu sebagai representasi dari lawan yang kita setting sebagai teman? Dan dukungan berbagai negara yang membelot dari kesepakatan Uni Eropa itu adakah memenuhi kriteria sebagai pihak yang harus bicara mencla-mencle?
Kalau saya tidak percaya semua itu. Saya lebih percaya, jika negara punya power, maka profit sawit bisa mensejahterakan semuanya. Presiden Jokowi harus menunjukkan power itu. Langkah pertama dengan mencopot menteri yang tidak seirama. Dan langkah kedua adalah membuka pasar-pasar baru agar tidak bergantung pada negara mana saja.
Sedang yang lain-lain di luar itu hanyalah sekadar permainan. Tidak perlu terlalu serius dipikir, apalagi sampai memusingkan kepala. Syukur seperti kata Driyarkara, pakar filsafat itu, yang menganjurkan untuk bermain dengan cinta. Melihat segalanya dengan kearifan dan kebijaksanaan. Djoko Su’ud Sukahar