Politik

Burung Surga (26) : Ini Filosofi Warongko Manjing Curigo

Sementara burung Bayan masih berpikir bagaimana cara menghentikan majikan perempuannya yang akan 'selingkuh' dengan Sang Pangeran, burung Menco terus mencercanya dengan pertanyaan-pertanyaan soal keimanan. "Hai Bayan, sekarang gunakan ilmumu. Entah ilmu mantiq atau madkhalmu, dan jawablah pertanyaanku ini. Aku sudah siapkan tigabelas pertanyaan, "kata Menco menghardik burung Bayan. "Pertama, dimana letaknya tapak burung Kuntul yang sedang terbang. Kedua, apa makna orang lumpuh mengelilingi dunia. Ketiga, apa arti warongko manjing curigo. Keempat, bagaimana engkau menjelaskan ada orang bisu tapi menjadi hakim. Kelima, apa maksudnya, ada orang buta justru menjadi petunjuk jalan. Keenam, pungguk merindukan bulan. Kedelapan, apa maksudnya ada api tapi dibakar, padahal yang membakar itu kan api juga. Kesembilan, bagaimana mungkin air terendam di dalam air. Kesepuluh, matahari itu sumbernya panas tapi mengapa dipanggang. Kesebelas, lampu apakah yang menyala tanpa sumbu. Keduabelas, apa maksud benda tergantung tanpa kaitan. Ketigabelas, apa makna ada pohon beringin tapi merambat ke akar-akarnya?" Burung Bayan segera menjawab. "Tapak Kuntul terbang itu maksudnya ialah kalam Allah. Bukan kertas atau tinta, tidak berwarna kuning atau merah, tapi jika didekati akan lebih dekat, jika dijauhi akan lebih tinggi. Itu ilmu Allah yang sudah jelas dan terang bagi orang mukmin. Tapi jauh bagi orang kafir yang jauh dari rahmat Allah. Adapun maksud orang lumpuh keliling jagad, itu bagaikan orang melihat dalam mimpi. Ia akan melihat luasnya alam, alam kecil dan alam besar ada di dalam badan wadag. Seumpama sapu, akan bergerak jika digerakkan manusia. Orang hidup itu dengan roh yang berasal dari Allah bagaikan air dalam gelas diterpa sinar matahari akan berpendar, bercahaya keluar gelas, kendati gelas tetap di tempat. Seperti itulah orang yang sedang tidur. Badannya diam tak bergerak, tapi bisa melihat seluruh jagad raya. Sedangkan yang dimaksud warongko manjing curigo, itu ialah roh idhafi yang adanya di dalam alam mistal yaitu alam jisim (materi), yang berada dalam rangka yang bermakna kekosongan, yang manunggal dengan Allah. Seperti orang yang sedang melakukan salat hajat yang telah menyatu dengan Tuhan, yang disembah tidak mencari wujudnya bagaikan kencono dan wungko seperti kesempurnaan yang telah dicapai Syekh Siti Jenar. Hilanglah tembogo ketika suksma mencapai tingkat kemuliaan yang memancarkan cahaya benderang bagaikan kencana. Ketika Jenar mati akibat maunya sendiri sesudah dijatuhi hukuman mati, cahaya terang memancar dari keranda tempat jenazah Jenar disemayamkan. Campur hamba dan Tuhannya bukanlah dalam ruang yang terbagi di antara bagian depan dan belakang. Hal itu terjadi ketika seluruh gerak manusia itu berbareng dengan kodrat Allah. Seperti orang pergi tanpa berpisah, bagaikan manusia dengan rangkanya (wayangan). Rangka itu belum jadi ketika belum berwujud manusia yang tanpa bayang-bayang. Namun ketika manusia itu memiliki bentuk badan wadag (benda materi), jika ia berjalan akan selalu diikuti oleh bayangan badannya. Ketika bayangan itu lenyap, maka jalma (manusianya) tidak ikut lenyap. Tindakan baik-buruk tergantung pilihannya sendiri. Di saat warongko manjing curigo tidak seperti ketika ruh manusia itu masih berada di lauhil mahfudz." (jss/bersambung)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar