Politik

Baris China (2-Habis) : Gamelan Keramat Minta Tumbal

Seperti biasanya pementasan tarian sakral maupun wali di Bali, memang harus ada upacara atau acara tertentu. Tanpa ada upacara yang sudah dijadwal, entah itu setiap tahun ketika ada odalan di pura masing-masing, atau setiap lima tahun sekali. Selain ada upacara tertentu yang harus dipersiapkan warganya, juga harus ditarikan pada tempat-termpat tertentu. Tarian sakral atau wali di Bali, memang, tidak dipentaskan di sembarang tempat seperti jenis tarian lain di Bali pada umumnya. Tarian sakral atau wali tidak mengedepankan unsur seninya, melainkan nilai kesakralan tarian itu. Setiap tarian wali atau sakral di Bali, punya perjalanan atau kisahnya. Berbeda dengan  pementasan tari Baris Cina di Banjar Semawang, Sanur, Bali. Tari Baris Cina mempunyai seragam pakaian seperti tentara tempo dulu. Pakaian yang dipakai antara lain celana panjang, baju jas dan topi. Senjatanya, untuk tarian khas Bali biasanya menggunakan tombak dan keris. Sedangka baris Cina ini, senjata yang dipakai berupa pedang (kelewang). Tarian yang dibawakan juga tidak seperti tari baris tombak pada umumnya, tetapi berupa gerakan silat. Mangku Rica menuturkan, baris tersebut ada dua jenis. Pertama, pakaiannya hitam dan yang satunya lagi berjubah putih. Pasukan penari baris yang berpakaian hitam, saat kerauhan (kasurupan) mengunakan bahasa Arab, sedangkan yang berpakaian putih memakai Bahasa Cina. Masing-masing pasukan ini memiliki pemimpin yang berstana di Pura Dalem Pengembak. Pimpinan Baris Cina yang berpakaian hitam bernama Ida Ratu Kobar Api, sedangkan yang berpakaian putih bernama Ida Gusti Berto. Mangku Rica menambahkan, kedua baris ini, pantang dipentaskan secara bersamaan. “Jangankan dipentaskan bersamaan, bertemu pedang di panggung saja tidak boleh,” tutur mangku Rica. Kalau semua itu dilanggar, sudah dipastikan, akan terjadi bencana di lingkungan banjar bersangkutan. Pernah terjadi, demikian Mangku Rica, penari Baris Putih, seusai pentas, menonton penari baris Hitam ketika sedang menari di panggung. Apa yang terjadi? Di luar dugaan, kedua penari baris ini saling tebas memakai kelewang. Anehnya, para penarinya tidak ada yang luka. “Sejak kejadian itu, setelah pasukan baris Putih selesai pentas, langsung saya suruh meninggalkan panggung,” tutur Mangku Rica. Perlu diketahui, perbedaan warna pakaian kedua baris ini, tentu ada yang melandasinya. Di Bali sendiri, dikenal istilah ruwa bhineda (antara baik dan buruk). Ruwe bhineda, bagi orang Hindu, sama sekali tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Bagaikan gambar di kepingan uang logam. Ada peteng (malam), ada pula lemah (siang). Ada baik dan ada juga buruk, ada laki ada wanita, dan seterusnya. Begitu latar belakang atau filosofinya, maka, bisa dibayangkan, setiap kedua jenis baris ini bertemu, pasti ada persoalan. Paling tidak kedua jenis baris ini akan berseteru satu sama lainnya. Di Bali sendiri, secara umum ada tarian baris. Tarian baris umum ini, dibawakan perorangan, bisa orang dewasa atau anak kecil. Gerak tari baris umum di Bali; lincah, bersemangat dan menyergap-nyergap. Tarian baris umum di Bali tanpa dilengkapi dengan topeng (penutup muka). Hanya saja, semua anggota badan lainnya dihiasi dengan busana (payas). Mulai dari tangan dan kaki, leher sampai ke perut, dan kepala diikat dengan gelungan. Begitulah tari baris umum di Bali. Sementara Baris Cina di Sumawang Bali, jelas punya warna lain. Selain berbeda dari segi pakaian, dari penampilan gerak tarian pun berbeda. Gerakan tarian Baris Cina agak mirip dengan gerakan silat. Mereka mengeluarkan jurus-jurus silat ketika pentas di panggung. Padahal, hampir semua penari Baris Cina tidak menguasai dasar jurus silat. Namun, ketika pentas di panggung dengan menggunakan pakaian baris Cina, secara otomatis mereka bisa menggerakkan seluruh tubuhnya dengan jurus-jurus silat. Selain tidak menguasai jurus silat dasar, para penari pun berbeda-beda satu sama lainnya. Artinya, penarinya tidak itu-itu saja. Artinya, tidak ada kekhususan penari Baris Cina ini, maka setiap warga pemaksan boleh menjadi penari. “Asalkan dalam tubuh pemaksan sendiri sudah ada keyakinan, bahwa setiap orang bisa memainkan tarian baris Cina,” kata Rica. Seperti digambarkan pada tulisan pertama, tarian baris Cina ini dianggap mampu menolak grubug ini, memiliki perangkat gamelan yang cukup unik beripa gong beri.  Beberapa perangkat gamelan dipercaya memiliki kekuatan gaib. Menurut penuturan Klian Pemaksan Pura Ida Ratu Tuhan, I Wayan Rentha, perangkat gamelan gong beri yang mempunyai kekuatan gaib itu adalah tawe-tawe –yaitu gamelan yang bentuknya seperti gong tetapi ukurannya lebih kecil. Kira-kira berdiameter 20 cm. Kedua tawe-tawe kuno yang pecah itu masing-masing di-sungsung (dipuja) di Pura Ida Ratu Tuha n dan pemerajan keluarga I Wayan Rentha. Dijelaskan, keunikannya mulai dirasakan ketika para penglingsir-nya (leluhur-orang tua) bermaksud memperbaiki tawe-tawe yang pecah tersebut. Gamelan itu pun dibawa ke perajin gamelan (pande)  di Desa Tihingan, Kabupaten Klungkung. Ketika itu, keduanya diperbaiki di Desa Tihingan. Seperti biasanya, gamelan yang rusak ditaruh di sembarang tempat oleh perajin itu. Namun apa yang dialami pande itu? Tanpa sebab yang pasti, pande itu meninggal mendadak dan gamelan itu pun dikembalikan ke Banjar Semawang Sanur. Karena tidak diterima di perajin Tihingan, tak berselang lama gamelan itu dibawa ke seorang perajin di Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, sekitar 20 km timur laut Denpasar, untuk diperbaiki. Namun yang terjadi kemudian, keluarga perajin tersebut tidak pernah merasa nyaman karena diteror kejadian yang tidak masuk akal. Konon, rumah perajin di Blahbatuh itu seperti digoyang gempa bumi yang amat dahsyat. Padahal, sebenarnya tidak ada apa-apa, apalagi gemba bumi. Karena kejadian-kejadian tersebut, gamelan itu pun dikembalikan ke tempat asalnya; Semawang, Sanur. Oleh pemaksan pura tersebut, diputuskan gamelan yang dipandang sudah rusak itu, untuk tidak diperbaiki, melainkan langsung di-sungsung. Kedua gamelan itu pun dibuatkan palinggih (tempat suci)  masing-masing di Pura Ratu Tuhan, di Jalan Pantai Semawang, dan satunya lagi di rumah Wayan Rentha. Menurut Rentha  kedua tawe-tawe itu konon didapat dari kapal yang terdampar di Pantai Semawang. Ketika hendak dibayar kepada pemilik kapal itu, tiba-tiba orangnya tidak ada dan tanpa meninggalkan pesan. Akhirnya kedua gamelan itu digunakan untuk pelengkap gong beri yang merupakan taksu Baris Cina. Yang besar dipercaya dijiwai baris Cina Putih. “Karena berbagai keanehan itu, tiang (saya) tidak berani memindahkannya ke tempat lain. Apalagi menjualnya,” kata Rentha, mengakhirnya ceritanya, seraya mengajak melihat palinggih panyungsungan gamelan itu. (habis/rai warsa/jss)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar