Politik

Al Hallaj, Sang Sufi Ini Gugur di Tiang Salib

Puluhan abad silam Al Hallaj gugur. Ia meninggal di tiang salib, setelah menjalani siksa yang amat keji dari penduduk Baghdad. Anggota tubuhnya dipotong-potong hingga menjadi serpihan. Dibakar, dan abunya ditaburkan di Sungai Tigris, sungai terindah di negeri itu. Peristiwa tragis itu memang sangat menyakitkan, terutama bagi para pengikutnya. Apalagi, jasad orang suci itu dilenyapkan, hingga tIdak memberi ruang bagi penganutnya untuk melakukan penghormatan terakhir sebagaimana mestinya. Mereka kehilangan jejak tokoh yang diidamkan. Hingga tak berlebihan, jika saat eksekusi dilakukan, huru-hara pun melanda negeri ini. Suasana chaos meletus dimana-mana. Dan keguncangan cukup lama mendera negeri Islam ini. Benarkah Al Hallaj pendurhaka? Sampai detik ini, Al Hallaj, sufi yang bernama asli Abu al-Mughits al-Husain bin Manshur bin Mahammad al-Baidhawi ini masih membekas. Menyisakan bandul hidup, yang secara konsisten terus memantul kemana-mana. Ironisnya, tiap pantulannya itu melahirkan gejolak. Reaksi pro-kontra antara pengamal maupun penghujat sufi ini. Dan naga-naganya, konklusi akhir tak bakal ditemukan. Nama, sikap, serta ajaran Al Hallaj diramal bakal langgeng. Abadi sebagai penyulut konflik. Dan tetap fenomenal sepanjang zaman. Seberapa radikalkah ajaran dan pandangan Al Hallaj ini, hingga ia harus mati dengan cara yang begitu dramatis itu? Bagaimanakah kehebatannya, hingga tokoh ini punya pengikut yang begitu fanatik dan militan? Benarkah ia merupakan ancaman besar bagi syiar Islam? Atau ada faktor politis yang membuatnya harus dikambinghitamkan untuk menjadi tumbal bagi sebuah kekuasaan, seperti sinyalemen Masignon? Setumpuk persoalan itulah yang hingga kini tetap menggantung tatkala membicarakan tokoh sufi besar ini. Akulah Kebenaran Ana’l Haq. Akulah kebenaran. Itu kalimat terkenal yang  diucapkan Al Hallaj. Tetapi sederet kalimat sederhana itu dampaknya tak sesederhana yang dikira. Sebab kata itu ternyata mampu menggoncang jagad spiritual. Digugat banyak tokoh dari zaman ke zaman. Dan jadi bahan perdebatan yang tak putus-putus. Secara phisik, ucapan itu memang gampang ditafsirkan sebagai ungkapan kemungkaran. Sebab secara hakekat, kebenaran hakiki taklah dipunyai mahkluk. Fitrah manusia hanya sebagai penerima. Nrimo ing pandum. Sedang pemilik kebenaran hanyalah Allah. Tak heran, tatkala khotbah demi khotbah disampaikan Al Hallaj, kegaduhan terjadi dimana-mana. Ucapan itu jadi bahan perdebatan, dan memancing terjadinya disharmoni. Tidak berhenti disitu. Malah, untuk para politisi, ucapan itu dijadikan anak panah. Menjadi alat untuk membidik sasaran dalam mencari simpati di balik kebusukan kuasa dan zaman. Ucapan Al Hallaj ini, bagi pecinta keduniawian adalah senjata maha dahsyat. Tinggal merentang busur, sasaran pun digapai. Namun, bagaimana cara menajamkan anak panah yang sudah di tangan itu? Para penentang Al Hallaj itu cukup pintar. Langkah yang dilakukan adalah mengekploitasi nama Al Hallaj. Al Hallaj yang berarti penenun itu benangnya mulai diurai. Disusuri satu per satu. Dicari asal-usul, kebiasaan, sampai kecenderungan relijiusitas di masa depan. Akhirnya, dari investigasi itu ditemukan jalan lurus ke arah yang dimaui. Arah yang mampu mengobarkan emosi massa. Apa itu? Al Hallaj dihubung-hubungkan dengan kelompok Qarmathiyah. Ini sebuah kelompok ekstrim yang sangat dibenci masyarakat Islam, karena gerakan ini pernah menyerbu Mekkah. Membunuh umat Islam yang sedang menunaikan ibadah haji. Dan mengambil Hajar Aswad yang disunahkan itu. Fitnah keji itu pun berbuah. Al Hallaj dikecam. Diadili. Dipenjara. Dan divonis sebagai pendurhaka. Bahkan saat akan dieksekusi, perlakuan nista itu kian menjadi-jadi. Tubuhnya dihujani batu. Disalibkan pada sebuah kayu. Anggota badannya dipotong-potong, dikumpulkan dan dibakar. Abu dari pembakaran itu ditaburkan di Sungai Tigris. Hanya dalam hitungan hari, sosok orang suci ini sirna. Ia menyatu dengan tanah, melalui alur sungai yang terpecah menjadi Efrat dan Furat itu. Benarkah ia tokoh penyekutu Tuhan seperti tuduhan pemerintah? Atau justru dialah kekasih-Nya yang betul-betul dikasihi Allah melalui cobaan yang maha berat itu? Pertanyaan ini sangatlah sulit untuk dijawab. Karena dalam persoalan keimanan, rasionalitas bukanlah patokan. Begitu juga syariat yang menjadi tiang agama. Untuk itu, jika konklusi manusiawi itu yang dipakai pegangan dalam melihat dan memastikan seseorang sebagai penghamba atau pendurhaka, maka celakalah manusia. Sebab ia telah keluar dari fitrahnya. Tapi bagaimana dengan firman Allah yang mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk paling sempurna? Kesempurnaan manusia memang ya, jika berhadapan dengan mahkluk lain. Tetapi yang perlu diingat, ia bukan menjadi hakim bagi Kebenaran Mutlak, kebenaran Sang Khalik. Untuk itu, jawaban pasti bagi pertanyaan ini tentu, dalil kun fayakun adalah aksioma. Jika Allah berkehendak apapun jadilah. Djoko Su’ud Sukahar


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar