PEKANBARU — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mendesak pemerintah menunda pengenaan tarif pajak ekspor (PE) terhadap minyak sawit mentah (CPO) di tengah ketidakpastian ekonomi global. Ketua Umum GAPKI Eddy Martono menegaskan, industri sawit nasional saat ini menghadapi tekanan berat, terlebih dengan memanasnya konflik geopolitik antara India dan Pakistan — dua negara yang menjadi pasar utama ekspor sawit Indonesia.
Hal ini disampaikan Eddy dalam sambutannya pada Forum Andalas V yang digelar GAPKI Riau pada 22–23 Mei 2025 di SKA Co-Ex Pekanbaru. Forum ini mengangkat tema “Hambatan, Tantangan, dan Sinergi dalam Pengelolaan Industri Kelapa Sawit Indonesia yang Berkelanjutan” dan didukung penuh oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
“Kami berharap pemerintah bisa menunda pengenaan PE, karena situasi global sangat dinamis dan mempengaruhi ekspor. Perang antara India dan Pakistan menambah beban bagi pelaku usaha. Kalau pasar ekspor terganggu, maka dampaknya bisa sangat serius bagi industri dalam negeri,” ujar Eddy.
Ia menekankan, meski banyak sektor industri mengalami penurunan bahkan gelombang PHK dalam dua tahun terakhir, industri sawit masih menunjukkan ketahanan luar biasa. “Kita harus jaga momentum ini. Industri sawit bukan hanya tulang punggung devisa negara, tapi juga penopang kehidupan jutaan petani dan pekerja,” katanya.
Pernyataan Eddy diperkuat oleh Direktur Penyaluran Dana BPDP Mohammad Alfansyah. Dalam forum tersebut, ia menyoroti pentingnya menjaga stabilitas industri sawit sebagai sektor strategis nasional.
“Industri kelapa sawit telah menjadi penopang utama ekonomi nasional, terutama dalam menghadapi tekanan global. BPDP akan terus mendorong penguatan daya saing dan keberlanjutan industri ini, baik dari sisi hulu maupun hilir,” ungkap Eddy Abdurrachman.
Ia juga menambahkan, keberlanjutan industri sawit tak hanya soal ekspor, tetapi juga soal kontribusinya dalam penyediaan energi terbarukan, seperti biodiesel, serta program peremajaan sawit rakyat (PSR) yang menyasar peningkatan produktivitas petani kecil.
Forum ini turut dihadiri Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Heru Tri Widarto yang hadir mewakili Menteri Pertanian. Ia menyebut, forum Andalas ini strategis dalam merumuskan masukan kebijakan di tengah tekanan luar negeri.
“Kebijakan Amerika Serikat, konflik India-Pakistan, hingga kampanye negatif Eropa harus disikapi secara kolektif. Forum seperti ini menjadi wadah penting menyatukan suara pelaku industri,” ujar Heru.
Kepala Dinas Perkebunan Riau, Syahrial Abdi, turut mengapresiasi pemilihan Riau sebagai lokasi penyelenggaraan. “Riau adalah pusat sawit nasional. Rekomendasi dari forum ini diharapkan bisa memperkuat tata kelola sawit berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan petani,” ujarnya.
Ketua Panitia Forum Andalas V, Dede Putra Kurniawan, menambahkan forum ini menjadi etalase kolaborasi antar pelaku industri sawit. Berbagai perusahaan menampilkan inovasi teknologi pengolahan ramah lingkungan serta berbagi pengalaman dalam pengelolaan industri yang berkelanjutan.
Dengan semangat sinergi, Forum Andalas V 2025 menjadi simbol tekad bersama untuk menjaga industri sawit tetap adaptif, kompetitif, dan inklusif di tengah gejolak global yang terus berubah.(lin)