Nusantara

Dongkrak Produksi Sawit Nasional, GAPKI Siap Implementasikan PSR Kemitraan

KAMPAR - Saat ini kebun petani baik plasma maupun swadaya telah menjadi bagian penting bagi industri kelapa sawit Indonesia. Besaran kebun petani sawit yang mencapai 42% kini telah memasuki masa peremajaan dengan rata-rata usia tanaman diatas 25 tahun. Terdapat 513 ribu hektar kebun sawit plasma yang tersebar di 15 provinsi dimana sebagian diantaranya adalah petani binaan anggota Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang memerlukan peremajaan. Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum (Ketum) GAPKI, Eddy Martono dalam acara Kick Off Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) kemitraan anggota GAPKI di Kabupaten Kampar Riau, Senin (18/9/23)

“Petani mitra GAPKI seharusnya sudah clean and clear memenuhi persayaratan PSR, Namun ternyata masih harus bergelut dengan berbagai permasalahan, terutama terkait dengan legalitas lahan.” Tutur Eddy. “Terkait dengan Hak Guna Usaha (HGU), adanya lahan yang terindikasi masuk dalam kawasan hutan padahal telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) padahal sudah pernah menjadi agunan di bank hingga kendala dari petaninya sendiri dimana banyak yang enggan melakukan replanting dengan alasan harga Tandan Buah Segar (TBS) yang masih tinggi,” ungkap Eddy.

Menurut Eddy, petani kelapa sawit Indonesia memerlukan pendampingan yang sangat serius dari pemerintah dan juga perusahaan-perusahaan swasta agar percepatan program PSR bisa terimplementasi dengan cepat. “Kami sangat mengapresiasi lahirnya Perpres nomor tiga tahun 2022 yang membuka peluang kami (pengusaha) untuk melakukan pendampingan kepada para petani binaan dalam program PSR kemitraan,” ucap Eddy.

Sebagaimana kita ketahui, PSR merupakan program pemerintah melalui Kementerian Pertanian untuk meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat, dengan mengganti tanaman tua atau tidak produktif dengan bibit baru yang lebih berkualitas. Eddy mengungkapkan bahwa produksi sawit dalam 5 tahun terakhir mengalami stagnasi, bahkan cenderung menurun. Padahal konsumsi minyak kelapa sawit dalam negeri terus mengalami peningkatan dari 18 juta ton menjadi 21 juta ton pada tahun 2022.

Bisa dikatakan, permasalahan-permasalahan tersebut merupakan faktor paling critical yang menyebabkan lemahnya Implementasi Program PSR. Program yang dimotori oleh Kementerian Pertanian dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS) ini telah berjalan dari tahun 2017. Sebagaimana diketahui, para petani kelapa sawit mendapatkan bantuan sebesar 30 juta rupiah per hektar untuk melakukan PSR.

“Hingga saat ini kami telah mengucurkan 8,8 juta triliun untuk program PSR,” ungkap Direktur Utama BPDPKS, Eddy Abdurrachman dalam kesempatan yang sama. Menurut Eddy sejak keluarnya kebijakan PSR jalur kemitraan, implementasi program ini menjadi semakin menjanjikan. Saat ini BPDPKS tengah menelaah 17 proposal PSR kemitraan yang membuatnya yakin untuk mencapai target pemerintah yakni 500 ribu dalam kurun tiga tahun kedepan. “Sepanjang tahun 2023 ini kami telah mengimplementasikan PSR kemitraan seluas lebih dari 1700 hektar yang terdiri dari tujuh proposal saja,” tegas Eddy.

Sementara itu, Direktur Jenderal Perkebunan, Andi Nur Alam Syah, dalam sambutannya mewakili Menteri Pertanian menyampaikan apresiasi dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada GAPKI beserta Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit yang telah mengupayakan dan mendorong akselerasi program Peremajaan Sawit Rakyat melalui jalur kemitraan. PSR jalur kemitraan strategis agar terjadinya transfer pengetahuan, keahlian dan teknologi dari para pelaku industri. “Kolaborasi dalam program ini diyakini dapat mengakselerasi program serta meningkatkan produktivitas dan keuntungan bagi para petani," tegas Andi.

Salah satu Koperasi Petani yang kini tengah mempersiapkan program kemitraan adalah Koperasi Berkat Ridho. Koperasi yang memiliki 350 anggota Dengan total luas lahan 700 ha ini merupakan  petani plasma PT Buana Wiralestari Mas. Koperasi tersebut kini telah mendapatkan dana BPDPKS untuk 138 hektar milik anggotanya dan selebihnya masih dalam proses pengumpulan dokumen. “Saat ini kami (Koperasi Berkat Ridho) juga tengah menunggu dana sarana dan prasarana dari BPDPKS untuk pembelian pupuk senilai 1,7 Miliar rupiah,” ucap ketua koperasi Berkat Ridho, Muhammad Misdan.

“Kendala kami dalam program PSR ini adalah permasalahan dokumen administrasi yang disyaratkan. Banyak petani kami telah memiliki SHM namun tidak memiliki dokumen asli karena sebagian diagunkan dan atau alasan lainnya,” ungkap Misdan. “Melalui pola kemitraan, selain kami mendapatkan pendampingan dalam hal kelengkapan dokumen, kami juga mendapatkan solusi atas kendala pembiayaan, mendapatkan bibit unggul, pengelolaan kebun yang baik serta mekanisasi,” tambah Misdan.

Koperasi dengan tahun tanam 1997 ini, telah menjalin kemitraan dengan perusahaan dan berkatnya telah berhasil meningkatkan produktivitas kebun. Hasil panen tandan buah segar (TBS)  yang semula 10 ton per hektar per tahun, meningkat dua kali lipat menjadi 23,43 ton per hektar per tahun pada usia rata-rata tanaman 6 tahun. “Kami optimis, di usia 10-20 tahun, potensi produksi kami dapat mencapai 30 ton per hektar per tahun,” tutur Misdan.

“Kemitraan petani serta program PSR kemitraan tidak bisa berjalan sendiri, namun seluruh stakeholder sawit harus bersinergi. Kami mengapresiasi kementrian pertanian dan BPDPKS yang begitu konsisten memberikan dukungan, lembaga perbankan dan terutama dukungan kebijakan pemerintah daerah,” ucap Direktur Utama PT Buana Wiralestari Mas, Feredy. (*)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar