Nusantara

Putusan MK: Pemerintah Wajib Lindungi Hak Atas Tanah dari Klaim Kawasan Hutan

JAKARTA - Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-IX/2011, apabila ada hak-hak perorangan seperti SHM, HGU, HGB dan hak lainnya yang diklaim masuk kawasan hutan, maka sudah menjadi kewajiban Pemerintah untuk mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Dr Sadino, SH, MH mengatakan, berdasarkan putusan MK apabila ada hak SHM, HGU, HGB dan hak lainnya yang diberikan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) sah menurut hukum dijamin dan dilindungi oleh UUPA.

“Jika diketemukan kebun sawit rakyat atau perusahaan yang sudah memiliki hak atas tanah tidak dalam kategori melanggar hukum. Maka konsep penyelesaiannya adalah pengeluaran kebun sawit tanpa syarat. Dan bukan seperti yang terjadi saat ini harus mengajukan pelepasan Kawasan hutan dan dibebani membayar PNBP,” kata Sadino dalam keterangan tertulis, Jumat, (27/1/22).

Menurut Sadino, bagi yang sudah ada hak atas tanah, istilah penyelesaian kebun sawit dalam Kawasan hutan adalah tidak tepat, dan yang tepat adalah Kawasan hutan yang masuk dalam kebun sawit sesuai kaidah dan norma hukum sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-IX/ 2011.

Putusan MK telah merubah kewenangan Menteri Kehutanan agar pelaksanaan penetapan suatu kawasan menjadi kawasan hutan yang mengacu kepada Pasal 4 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tetap memperhatikan hak atas tanah yang diberikan sesuai peraturan perundang-undangan. Sejak tahun 2012, Pasal 4 ayat (3) dinyatakan tidak berlaku dan tidak mengikat. Putusan MK berlaku sejak tanggal diputuskan yang bersifaf final.

“Penyelesaian ini telah diatur dalam Pasal 110A UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Harus menuju kesana, karena hanya menekankan persyaratan izin lokasi dan/atau Izin Usaha Perkebunan. Tapi pada tahap implementasi dijalankan tidak sesuai dengan semangat dan tujuan UUCK dan Perpu 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja," kata Sadino.

Dia menjelaskan, dalam menjalankan UUCK tentunya klasifikasi hak atas tanah harus diperhatikan agar tidak menyebabkan timbulnya konflik baru dalam system usaha di Indonesia.  Terutama dalam insentif lahan sebagai bagian insentif kegiatan investasi.

Jika produk yang diberikan oleh negara seperti Hak Atas Tanah tidak dilindungi, maka akan terjadi sengketa hukum di pengadilan yang membuat tidak terlindunginya investasi. Produk negara akan diuji melalui sengketa di pengadilan, baik terkait hak keperdataan maupun sengketa hukum administrasi.

“Penyelesaian pemenuhan perizinan adalah bagi yang belum lengkap izinnya, jika kebun sawit yang sudah diberikan Hak Atas Tanah diperlakukan sama dengan izin tentu tidak benar dan melanggar hak konstitusi warga negara," jelasnya.

Dalam hukum administrasi, lanjunya, dikenal adanya asas hukum Presumtio Iustae Causa yang bermakna ‘setiap Putusan tata usaha negara adalah sah sampai ada putusan pengadilan atau pejabat yang berwenang membatalkannya’, tentu SK penunjukan kawasan hutan, termasuk SK penetapan kawasan hutan yang dikeluarkan oleh Menteri tidak serta merta menghilangkan hak atas tanah," tegas Sadino.  

Pelaksanaan penegakan hukum dan penyelesaian kebun sawit seperti di Riau sudah seharusnya mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan memperhatikan asas-asas hukum dalam hukum administrasi terkait Hak Atas Tanah dan perizinan. Kalau Hak Atas Tanah dan izin yang diberikan sudah sesuai dengan tata ruang, maka istilah yang tepat digunakan adalah "penyelesaian kawasan hutan yang masuk dalam kebun sawit".

“Dengan demikian penyelesaian kebun sawit dalam UUCK ada 2 jenis yaitu: 1. Penyelesaian kebun sawit dalam Kawasan hutan, dan 2. Penyelesaian Kawasan hutan dalam kebun sawit.,” katanya.

Sadino menegaskan, memasukkan hak atas tanah, seperti SHM, HGU, HGB dan hak lainnya dalam Kawasan Hutan seperti Keputusan Menteri Kehutanan adalah secara sewenang-wenang dan bertentangan dengan prinsip yang diamanatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-IX/2011 yang secara tegas mengakui perlindungan hukum terhadap hak atas tanah meskipun dimasukkan dan diklaim sebagai kawasan hutan.

“Saat ini pemda dan masyarakat khawatir akan dilakukan kriminalisasi oleh Penegak Hukum atas terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan yang secara sewenang-wenang. Padahal bertentangan dengan pertimbangan Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012 yang melindungi dan mengakui hak-hak atas tanah untuk dikeluarkan dari kawasan hutan,” jelasnya.

Sadino menjelaskan, bagi perusahaan, yang telah memperoleh izin dari Bupati dan bukan merupakan kawasan hutan tentunya tidak perlu permohonan pelepasan kawasan hutan, kecuali memang didalam Perda juga berstatus sebagai kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.

“Seringkali disamaratakan perusahaan harus mempunyai izin pelepasan kawasan hutan, padahal kalau sumber perizinannya dari Perda dan statusnya bukan kawasan hutan ya tidak diperlukan pelepasan kawasan,” tegasnya.

Ketidaksinkronan Tata Ruang, jelas Sadino, telah membuat kepastian kawasan hutan hutan juga tidak pasti, begitu juga kepastian pembangunan umum seperti sarana-prasarana saat ini banyak dimasukkan dalam Peta Kawasan Hutan, seperti perkampungan, perkantoran, kebun rakyat, fasilitas umum seperti tempat ibadah, sekolah dan lainnya.

“Hal tersebut diakibatkan oleh kebijakan yang tidak baik, terutama terkait pemberian penyelesaian permasalahan di lapangan akibat ego sectoral,” jelasnya.

Padahal, kata Sadino, perizinan dibidang perkebunan menjadi wewenang penuh Bupati dengan arahan lokasi dan pertimbangan teknis dari ATR/BPN Kabupaten dan Dinas Kehutanan.

“Perda biasanya sebagai pedoman bagi ATR/BPN. Dalam izin lokasi bukan kawasan hutan, maka seringkali Hak Atas Tanah (SHM dan HGU) bisa dapat diproses dan lahir Hak AtasTanah. Sebaliknya ada juga wilayah yang memperhatikan Peta Kawasan Hutan, khususnya yang berstatus Hutan produksi yang dapat dikonversi maka harus mengurus pelepasan Kawasan hutan lagi ke Kementrian yang membidangi Kehutanan,” katanya.

Sadino menambahkan, memahami permasalahan Kawasan hutan di Provinsi Riau dalam kebun sawit tidak bisa dilepaskan dari sejarah penunjukan Kawasan hutan di Provinsi Riau. Kondisi lahan di Riau dan Kepulauan Riau sejak dulu mayoritas ditunjuk sebagai kawasan hutan sebagaimana tertera dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 173/Kpts-II/1986 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Dati I Riau Sebagai Kawasan Hutan.

Fungsi kawasan hutan terbagi atas: 1. Hutan Lindung 397.150 hektar (4,2%), 2. Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata 451.240 hektar (4,8%), 3. Hutan Produksi Terbatas 1.971.553 hektar (20,8%), 4. Hutan Produksi Tetap 1.866.132 hektar (19,8); dan 5. Hutan Produksi Konversi dan Areal Penggunaan Lain 4.770.085 hektar (50,4%).

Sesuai Surat Keputusan dalam diktum Ketiga: Memerintahkan Kepala Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan untuk melaksanakan pengukuhan dan penataan batas kawasan hutan tersebut di lapangan. Yang menjadi pedoman adalah memang di Riau wilayah hutan produksi konversi dan Areal penggunaan lain sudah mendekati 50,4% pada saat itu.

“Sumber hukum yang digunakan dalam penyusunan Peraturan Daerah di Provinsi Riau adalah mayoritas mengacu kepada wilayah hutan produksi konversi dan APL,” jelas Sadino.  

Amanat dari Surat Keputusan Menteri Kehutanan, terkait dengan pengukuhan kawasan hutan hasil penunjukan sangat terlambat dilaksanakan di lapangan, sedangkan di lapangan sudah ada kegiatan pembangunan dan pemberian izin dan sudah melahirkan hak atas tanah (SHM, HGB, HGU, hak pengelolaan, hak Pakai dan lain sekunder lainnya) yang secara hukum adalah sebagai hak konstitusional pemegang hak masyarakat di Riau.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Dr Budi Mulyanto menambahkan, dasar dari penetapan kawasan hutan adalah pengukuhan, dan bukan penunjukan seperti selama ini diterapkan.

"Konsep penunjukan yang selama ini diberlakukan, punya persoalan, yakni terlihat legal tapi tidak legitimate atau pengakuan sangat rendah dari masyarakat," katanya.

Menurut Prof Budi, tata batas adalah proses hukum dan bukan proses teknis oleh karena itu batas harus ditentukan dan disepakati oleh pihak-pihak yang berbatasan dengan menerapkan azas contradictiore delimitatie.

"Persoalan tata batas selalu tidak tuntas, karena dalam praktiknya terdapat dualisme kebijakan pertanahan di Indonesia," tegasnya.

Di dalam kawasan hutan legalitas pemanfaatan tanah ada melalui izin dari KLHK. Sedangkan di luar kawasan hutan atau yang disebut dengan Area Peruntukan Lain (APL) administrasi dan penguasaan tanah menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

"Fakta ini berimplikasi pada munculnya berbagai aturan dan regulasi bidang pertanahan di dalam dan luar kawasan hutan, termasuk masalah kepastian hukum pengakuan penguasaan tanah oleh masyarakat, khususnya masyarakat adat yang telah lama bermukim di wilayah tersebut," pungkasnya.(lin)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar