Industri

Chatib Basri Sebut Indonesia Menuju Pemulihan Ekonomi

JAKARTA - Pandemi Covid -19 memicu krisis ekonomi yang melanda berbagai belahan dunia. Bilamana perekonomian dunia pada tahun 2019 mencapai pertumbuhan 2,9%, perkiraan dari IMF, Bank Dunia, Bloomberg dan OECD menyebutkan bahwa pertumbuhan perekonomian dunia akan terpukul sampai -4% s/d -5% pada tahun 2020, walaupun menurut IMF dan OECD akan tumbuh mencapai sekitar 5% pada tahun 2021. Kondisi ini juga melanda Indonesia yang pada tahun 2019 mencatat pertumbuhan ekonomi 5% namun diperkirakan akan mencapai pertumbuhan antara -1,5% s/d 3,3% pada tahun 2020, dan akan pulih di tahun 2021 dengan mencatat perkiraan pertumbuhan antara 5%-6% pada tahun 2021.

Demikian dikemukakan M Chatib Basri – Ekonomi Creco Research and University of Indonesia dalam salah satu sesi diskusi pada IPOC (Indonesian Palm Oil Conference) 2020 New Normal yang diselenggarakan secara virtual, Rabu (2/12).
“Negara-negara yang memutuskan untuk lockdown, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai cara jitu untuk meredam penyebaran pandemi Covid -19, ternyata memukul pertumbuhan GDP lebih parah dibandingkan dengan negara-negara yang tidak melakukan lockdown,” jelasnya.

“Hanya Vietnam negara yang melakukan lockdown tapi tidak mengalami resesi,” tambah Chatib. Menurut dia, suku bunga kelihatannya akan bertahan di angka mendekati nol. Harga komoditas dan energi mulai pulih pada semester kedua tahun 2020. “Di antara berbagai komoditas yang mengalami pertumbuhan negatif, crue palm oil (CPO) - bersama-sama karet dan emas - menunjukkan diri kebal krisis,” ujar dia.

Untuk Indonesia, kata Chatib Basri, dampak terparah dari pandemi dialami kelompok informal yang pendapatannya turun drastis sekitar 30%-40% sejak Mei sampai Oktober, disusul oleh wirausaha yang turun 15%-25%. Menurut dia, kelompok pegawai sudah menunjukkan pemulihan di bulan Oktober 2020, walaupun sempat berkurang pendapatannya sampai titik terendah 10% pada bulan September 2020.

“Sumber daya hayati dari perkebunan menyumbang pemupukan modal secara signifikan (23%) sementara sektor lain seperti permesinan, bangunan dan kendaraan mengalami pertumbuhan negatif,” ujarnya. Lebih jauh, Chatib mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi menurut biaya didorong oleh pembelanjaan pemerintah sementara ekspor, impor dan investasi mengalami pertumbuhan negatif. Sementara, laju pertumbuhan konsumsi secara positif dalam jumlah yang tidak signifikan disumbang oleh Pendidikan dan Kesehatan serta peralatan, di samping pengurangan konsumsi secara umum.

Adapun pertumbuhan ekonomi secara spasial rata-rata semua menunjukkan negatif dengan Bali mencatat paling parah, sementara pertumbuhan positif hanya terjadi di Maluku Utara (6,66%), Sulawesi Tengah (2,82%), NTT (0,74%) dan Sumatera Utara (0,38%) untuk kuartal ketiga tahun 2020. Di sisi lain, sambung Chatib, pertumbuhan konsumsi mengalami perlambatan dengan kelompok berpendapatan tinggi mencatat penurunan antara 30%-45%, sementara kelompok berpendapatan menengah mengalami penurunan 30%-35%, dan kelompok berpendapatan menengah antara 30%-15%. Konsumsi terlihat meningkat untuk hobi, bahan bakar dan elektronik sejak diberlakukannya PSBB. Sementara index pembelanjaan laggingsector mengalami penurunan drastis sampai bulan April, dan mulai bangkit sesudahnya.

Dalam upaya mencapai pemulihan ekonomi, masih kata Chatib, tidak terpungkiri diperlukan ekspansi fiskal. Pertanyaan penting ialah apakah investasi swasta akan pulih di 2021 dengan adanya penerapan protokol Kesehatan dan menunggu vaksin terdistribusi dengan baik? Chatib menilai, harapan investasi datang dari konsumsi. Stimulus fiskal diharapkan membantu meningkatkan cash transfer ke kelompok menengah bawah. Selain itu diperlukan jaminan kredit, subsidi suku bunga dan insentif pajak.

“Diperkirakan pemulihan mengikuti K-Shape Recovery yang akan terjadi dengan jaga jarak lebih dijalankan oleh kelompok pendapatan menengah atas bila pemerintah tidak memberikan perlindungan sosial, pemulihan terjadi tapi tidak merata (digital vs non-digital, sektor Kesehatan dll), pergeseran bisnis model ke arah yang lebih banyak menggunakan digital, berkembangnya infrastruktur digital, kesenjangan, dan adanya problem dalam mengakses Kesehatan, Pendidikan dan teknologi digital,” pungkasnya.(lin)

 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar