Perkebunan sawit bukan pembangkit nuklir yang membahayakan dan merusak. Sawit juga masuk kategori industri lazim yang mendapat restu negara. Untuk itu pengenaan strict liability tak layak diberlakukan terhadap sawit
Prinsip tanggung jawab mutlak yang tidak memerlukan pembuktian kesengajaan kealpaan atas suatu tindakan (strict liability) hanya bisa diberlakukan pada kegiatan usaha yang bisa menimbulkan dampak bahaya yang sangat besar luar biasa bagi alam, lingkungan, manusia dan sebagainya.
“Konsep strict liability yang digagas dalam berbagai konvensi internasional menyasar aturan hukum itu berlaku pada kegiatan usaha yang bisa membawa dampak kerusakan luarbiasa seperti pembangkit nuklir atau pengeboran baik di darat maupun lepas pantai ,” kata pakar strict liability Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Prof. DR Hartiwiningsih dalam seminar nasional bertema “Dampak kebakaran terhadap ekosistem gambut” yang diselenggarakan Fakultas Kehutanan IPB, di Bogor, Rabu (25/10).
Hartiwiningsih berpendapat, kegiatan perkebunan kelapa sawit tidak termasuk dalam kategori sektor kegiatan yang bisa dikenai aturan strict liability karena tidak merusak.
"Pada dasarnya, perkebunan kelapa sawit masuk kategori industri lazim karena mendapatkan restu negara serta perkebunannya berada di kawasan berizin, yakni lahan HGU. Sawit juga memberi nilai, manfaat dan keberadaannya sangat besar karena menyerap tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi. “
Karena itu, kata Hartiwiningsih, penerapan strict liabity tidak bisa diterapkan secara sembarangan pada semua industri termasuk kelapa sawit serta tidak bersifat mutlak.
“Pihak-pihak dirugikan seharusnya berhak mengajukan beberapa alasan keberatan dengan dasar kegiatannya tidak merusak. Kata kuncinya ada pada kegiatan. Ini berbeda dengan kegiatan pada industri nuklir atau pengeboran yang langsung membawa dampak kerusakan,” kata dia.
Pernyataan senada dikemukakan pengamat hukum Universitas Airlangga Suparto Wijoyo. Menurut Suparto, seluruh areal negara termasuk hutan sebenarnya menjadi tanggung jawab negara. Pasal 33 UUD 19945 yang sangat negara sentris menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Disini kita memahami bahwa tidak ada yang mempunyai kekuasaan yang lebih daripada negara karena memang mendapatkan mandat dari rakyat sebagai kontrak hukum,” katanya.
Mengacu pada konstitusi ini berarti, kalau suatu wilayah mengalami kebakaran hebat yang mengganggu ekosistem dan tatanan lingkungan, maka tanggung jawab itu ada pada aparatur negara. Mereka (aparatur negara) wajib memikul tanggung jawab hukum karena tidak melakukan fungsinya sebagai pembina dan pengawas.
“Konsep yang baik tentang pembinaan dan pengawasan ada pada kepolisian. Polisi tidak hanya menerbitkan surat izin mengemudi motor/mobil (SIM), tetapi juga menjalankan fungsi pembinaan dan melakukan pengawasan pada pengendara dijalankan. Jadi ketika terjadi kebakaran hebat, pertanyaan apakah aparatur negara sudah menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan secara baik.”
Menurut Suparto, ketika korporasi digugat karena diangap lalai dalam kasus kebakaran, seharusnya mereka bisa menggugat kembali dengan dasar tidak ada pembinaan dan pengawasan.
Dia juga mengingatkan, pemerintah harus mengambil tanggung jawab yang sama ketika kebakaran terjadi di kawasan open access seperti taman nasional. “Harus ada state liability. Yakni pemerintah mempunyai tanggung jawab hukum yang sama jika terjadi kebakaran hutan,” katanya.
Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI) Supiandi Sabiham menilai, pemerintah tidak melihat subtansi dari persoalan kebakaran yang terjadi berulang.
Menurut Supiandi, kebakaran adalah akibat persoalan sosial masyarakat yang bisa terjadi dimana saja baik di lahan mineral maupun gambut.”Namun penyelesaiannya hanya sibuk mengotak-atik soal tinggi muka air tanah di lahan gambut dan sebagainya tidak berhubungan dengan substansi persoalan masyarakat, yakni kemiskinan,” katanya.