Pencapaian Target PSR Masih Rendah

DPRD Riau jadi Galau

PEKANBARU - Rapat Koordinasi yang digelar Komisi II DPRD bersama Dinas Perkebunan se- Riau sedikit membuat DPRD Riau Galau. Pasalnya, pencapaian target Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) di Bumi Lancang Kuning masih minim.

Sebelumnya diketahui target yang dicanangkan oleh pemerintah pusat terkait PSR di Riau mencapai 24.000 hektar di tahun 2020 ini. Namun, hingga saat ini pencapain yang dicatat oleh Dinas Perkebunan Provinsi Riau hanya sekitar 9.279,77 hektar.

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Komisi II DPRD Riau, Robin P Hutagalung saat berbincang bersama Media. "Pertemuan ini bertujuan untuk mengetahui kendala- kendala di lapangan hingga target PSR tersebut sangat minim pencapaiannya. Hingga kita rasa perlu adanya koordinasi untuk meningkatkan pencapaian di enam bulan kedepan ," terangnya.

Sementara, dipaparkan Kepala Dinas Perkebunan Riau, Zulfadli, PSR tahun 2020 ini diberlakukan di 10 kabupaten di Riau dengan target seluas 24.000 hektar.

Rinciannya yakni Kuantan Singingi target PSR seluas 2.000 hektar, Kampar 4.500 hektar, Bengkalis 1.000 hektar, Siak 5.000 hektar, Indragiri Hulu 2.000 hektar, Rokan Hilir 1.000 hektar, Pelalawan 5.000 hektar, Rokan Hulu 2.000 hektar, Dumai 500 hektar dan Indragiri Hilir 1.000 hektar.

"Saat ini capaian PSR kita hanya sekitar 9.279,77 artinya kita masih mempunyai target seluas 14.155,69 hektar lagi," paparnya.

Menurutnya, minimnya capaian target itu dipengaruhi oleh beberapa hal. Seperti legalitas lahan, pekebun, kelembagaan pekebun, pola yang dipilih dan lain sebagainya.

Terangnya dalam Pekebun misalnya, data legalitas pekebun tidak sesuai. Seperti antara KTP dan KK, KTP dengan legalitas lahan dan KTP dan Buku Tabungan. Bukan hanya itu pekebun juga tidak berdomisili sekitar kebun, atau pekebun tidak percaya  terhadap pengurus yang mengelola dana pekebun atau juga pekebun mudah terpengaruh hal lain.

Dari segi kelembagaan Petani Sawit Swadaya masih kebingungan, karena kelembagaan ini masih sangat awam bagi Petani, ciri-ciri Petani swadaya itu adalah terpencar-pencar dan dengan luasan kisaran 1-3 hektar.

Pola peremajaan dari catatannya juga menjadi penghambat minimnya target PSR itu. Misalnya pekebun diberikan kebebasan penuh memilih pola peremajaan tanpa ada standar dari kriteria yang membatasinya. Kemudian rentan konflik atau kepentingan pribadi. Selanjutnya dikhawatirkan proses peremajaan tidak maksimal atau gagal apabila salah memilih pola. Belum lagi PSR ini rawan ditunggangi kepentingan oknum pengurus atau pihak lain.

Sementara dari sisi legalitas lahan, misalnya lahan berada dalam kawasan hutan, peta lokasi kebun belum berkoordinat polygon, legalitas lahan berbeda dengan legalitas pekebun. Kemudian, lahan sudah diagunkan ke bank (SHM). Kemudian pekebun tidak dapat menunjukkan kepemilikan lahan yang sah. Dan terakhir format legalitas lahan (SKT, SKGR, SPGR, SKPT) berbeda – beda, jadi semua ini bersatupadu memperlambat capaian target PSR di Riau.

"Ada juga yang menjadi penghambat seperti ketersediaan bibit kelapa sawit siap tanam yang bersertifikat dan terjamin kemurniannya. Banyak informasi bahwa Ketika lahan sudah siap dibersihkan, malah ketersediaan bibit malang kosong dan kalaupun ada harus dijemput dari Provinsi lain, ini akan menambah biaya.

Sementara,  Sekretaris Komisi II DPRD Riau, Sugianto menilai salah satu point yang juga dinilai berpengaruh menghambat target yang dicanangkan tersebut yakni adanya indikasi permainan pengurus KUD atau Kelompok Tani dengan Pihak lain, ini jangan sampai terjadi, resikonya sangat berat, terangnya.

Penunjukan Suveyor dalam Permentan No 15 tahun 2020 juga ikut berpengaruh dalam percepatan pencapaian target itu. Bahkan kata dia, jika itu terjadi maka proses PSR dikhawatirkan tak tercapai target hingga akhir tahun ini, karena monopoli surveyor akan membuat Dinas Perkebunan setempat menjadi penonton.

"Untuk itu, kita minta Kementan mengkaji ulang terkait surveyor tadi," ujar Sugianto Dapil Pelalawan ini.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP APKASINDO) yang membawahi  117 DPD APKASINDO Kab/Kota  dari 22 DPW Provinsi, Ir. Gulat Manurung, MP.,C.APO, ketika diminta pendapat mengenai topik Pembahasan di Komisi II ini  yang akhir-akhir ini viral dibahas di medsos, mengamini apa yang disebut Anggota Dewan tersebut. Bahkan jika dibandingkan dengan capaian PSR di satu Kabupaten di Sumatera Barat, masih lebih banyak dari capaian Riau di 10 Kabupaten.

Ini memang tantangan berat kepada Kadisbun yang baru. Saya berterimakasih kepada Komisi II telah mensoroti lambannya PSR di Riau ini. Gubernur Riau patut mengevaluasi Kinerja Kabid yang menangani PSR selama ini supaya kedepan lebih kencang lagi larinya.

Dari data yang kami catat secara nasional yang diteribitkan BPDPKS, selama periode PSR 2016-2020 (per April 2020) terdapat 136.344 ha lahan sawit rakyat yang sudah PSR atau sekitar 27,2% dari target PSR seluas 500 ribu Hektar pada tahun 2023. Jumlah pekebun yang terlibat pada program ini secara nasional sebanyak 47.174 orang dengan total penyaluran dana sebesar Rp 3,408 triliun.

Dari 136.344 rb hektar yang sudah di PSR kan tersebut, hanya 8,6% yang menyasar ke Petani Swadaya (Pekebun Kampung), sisanya adalah Petani Plasma.

Khusus untuk Riau dari 9.279,77 ha yang sudah di PSR kan, hanya 1,8% yang menyasar ke Petani Swadaya Murni, sisanya itu ya Petani Plasma atau Petani eks Plasma.
Perlu dicatat bahwa Petani Plasma itu secara Nasional hanya 12% dari Total luas Perkebunan Sawit Rakyat (6,72 juta Ha), sisanya adalah Petani Swadaya murni.

Apkasindo berharap, tahun 2020-2023 adalah tahun PSR bagi Petani Swadaya Murni (Petani Kampung), kelompok ini yang harus ditolong, semua stakeholders harus bertukuslutus memperjuangkan kelompok Petani Swadaya ini, kalau Plasma kan sudah ada Inti (Perusahaan Mitra dari Plasma) yang mengurusin Petani Plasmanya.
Riau sebagai Provinsi terluas kebun sawitnya harus menjadi contoh bagi 22 Provinsi penghasil sawit lainnya, bukan sebaliknya.

Tabel Luas Tutupan Kelapa Sawit Nasional Tahun 2019
            
No    Provinsi    Luas (Ha)    Presentasi (%), Aceh    535,002    3.27, Sumatera Utara    2,079,027    12.69, Bengkulu    426,508    2.60, Jambi    1,134,640    6.93, Kepulauan Bangka Belitung    273,842    1.67, Kepulauan Riau    4,926    0.03, Lampung    268,061    1.64, Riau    3,387,206    20.68, Sumatera Barat    558,683    3.41, Sumatera Selatan    1,468,468    8.96, Banten    18,365    0.11, Jawa Barat    14,997    0.09, Kalimantan Barat    1,807,643    11.03, Kalimantan Selatan    549,953    3.36, Kalimantan Tengah    1,778,702    10.86
16    Kalimantan Timur    1,287,449    7.86, Kalimantan Utara    234,535    1.43, Gorontalo    11,257    0.07, Sulawesi Barat    155,958    0.95, Sulawesi Selatan    31,980    0.20, Sulawesi Tengah    110,901    0.68, Selasa Tenggara    55,786    0.34, Maluku    14,966    0.09, Maluku Utara    3,950    0.02, Papua    110,496    0.67, Papua Barat    58,656    0.36 TOTAL    16,381,957    100. Sumber Data, Kementerian Pertanian, 2019
(DIKETIK ULANG OLEH DPP APKASINDO - SALAM SETARA)

"Kami sudah melakukan survey di 117 Kabupaten/Kota DPD Apkasindo dari  22 Provinsi DPW Apkasindo, Kata kunci sukses PSR ini untuk Petani Swadaya adalah, pertama Sosialisasi ke Petani harus secara masif dengan melibatkan organisasi petani yang kredibel dan jelas keanggotaannya, kedua jemput bola melalui pendampingan sampai tuntas setelah sosialisasi (jangan hit and run), ketiga adalah beri semangat kepada Petani Swadaya jangan pulak dipersulit dengan bahasa-bahasa 'planet'; ke empat buat Posko PSR ditiap kecamatan, dan kelima buat standart acuan rekanan (SAR) supaya rekanan (kontraktor) yang mengerjakan PSR bukan rekanan 'kaleng-kaleng'. Khusus yang kelima ini supaya jika Petani memilih pola kedua (½ bermitra) sebaiknya pekerjaan yang dikontrakkan jangan hanya P-0, tapi harus dari P0-P3, jadi kontrakror punya tanggungjawab sampai finish, dan jika gagal atau rusak kebun PSR nya maka Kontraktor harus menggantirugi.

Selama ini kontraktor hanya 'doyan' di P0 (persiapan, penumbangan pohon sawit dan land clearing), padahal titik rawan dari PSR ini adalah di Perawatan P1, P2, P3, ujar Gulat yang juga Auditor ISPO ini. Semua Petani pasti bisa menanam sawit, tapi dari hasil simulasi tim  R and D  DPP APKASINDO diketahui bahwa potensi kegagalan PSR itu justru 75% di perawatan P1 sampai P3, jadi jangan main-main pasca P0.

Pemerintah daerah harus mensyukuri dana PSR ini, kalau dibebankan ke APBD Riau 24.000 ha x Rp.30 jt = Rp. 720 M, dari mana duit Riau untuk itu. Oleh karena itu semua Dinas Perkebunan di Riau harus dan wajib mendukung Program PSR ini. Mensukseskan PSR 24 rb Ha di Riau berarti sudah mendistribuasikan asset ke Petani sebesar Rp. 2,4 Triliun, luar biasa dampak PSR ini bukan?
Terkait ke Tim Surveyor PSR, memang ada benarnya seperti yang dikatakan Pak Sugianto. Seharusnya Surveyor ini bukan merupakan satu-satu nya lembaga yang merekrut dan memetakan calon lahan PSR, harusnya Dinas Perkebunan, Asosiasi Petani Sawit juga harus diberi ruang untuk sama-sama merekrut Calon Petani PSR. Selama ini kendala yang dialami teman-teman dari Dinas Perkebunan adalah sangat minimnya dana yang disiapkan oleh BPDPKS untuk proses rekrut calon peserta PSR ini sedangkan kami APKASINDO tetap berupaya sekuat tenaga dengan memberdayakan DPD APKASINDO yang ada di Kabupaten Kota untuk gencar melakukan sosialisasi percepatan PSR ini khususnya ke Petani Kampong. Nah kenapa ke Tim Surveyor ini bisa biayanya sampai sebegitu besar?.*

 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar