Industri

Fluktuasi Harga Sawit Selama Covid 19 Cenderung Turun

PEKANBARU -Harga tandan buah segar (TBS) dan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) yang terbilang baik saat ini menjadi imunitas bagi perekonomian petani sawit di Riau kala ekonomi diterpa dampak negatif wabah corona (Covid-19).
Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Riau, harga TBS pada periode awal Mei 2020 naik sekitar 13%—14% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Untuk harga sawit kelompok umur 10—20 tahun kini dihargai senilai Rp1.660,62 per kilogram atau naik 14,09% dibandingkan pada awal Mei 2019 senilai Rp1.455,54.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP Apkasindo) Gulat Manurung menyampaikan bahwa harga sawit masih berfluktuasi dan cenderung menurun sejak pandemi Covid-19 melanda dunia pada awal tahun ini.

Kendati demikian, posisi harga saat ini yang masih lebih baik ketimbang harga tahun lalu patut diapresiasi.
“Kami masih sangat bersyukur. Memang (harga TBS cenderung) turun, tapi selama masih dapat menjual buah ke pabrik, kami masih hidup,” kata Gulat kepada wartawan, pekan lalu.
Adapun, dirinya menjelaskan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan harga sawit bergerak turun.

Pertama, anjloknya harga minyak mentah akibat pasokan yang melimpah di tengah tingkat permintaan rendah. Harga minyak mentah yang murah tersebut pun membuat kelapa sawit kurang menarik karena CPO dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel yang merupakan produk substitusi minyak.
Kedua, pemberlakuan karantina wilayah atau lockdown untuk menahan penyebaran virus Covid-19 di China dan India telah memukul ekspor kelapa sawit Indonesia. Adapun, kedua negara tersebut merupakan pembeli terbesar minyak sawit dari Tanah Air.

Di sisi lain, Gulat melanjutkan, lockdown yang dilakukan Malaysia justru menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk melebarkan pangsa pasar sawit di luar negeri.

“Kita diuntungkan oleh lockdown Malaysia, dunia sekarang sangat tergantung dengan CPO Indonesia,” tuturnya.

Adapun, pandemi Covid-19 telah mendorong semua orang untuk hidup bersih dan rajin mencuci tangan. Gulat mengatakan hal itu turut menggenjot permintaan CPO karena minyak sawit merupakan bahan dasar deterjen dan sabun.

Selanjutnya, program biodisel 30% (B30) yang kini mulai dikembangkan untuk B40 juga menjadi angin segar bagi industri sawit dalam negeri.  Adapun, implementasi B30 telah dimulai pada Desember 2019 dan pemerintah menargetkan implementasi B40 menyusul pada tahun ini.

Gulat menunjukkan ketika implementasi B30, telah banyak CPO dalam negeri yang terserap dan berhasil mengurangi ketergantungan ekspor hingga ke bawah 70%.

“Ketergantungan ekspor kita kanmencapai 78%, ketika masuk B30 itu ketergantungan ekspor kita menjadi sekitar 67%,” jelas Gulat.

Melihat masih ada beberapa sentimen positif untuk industri sawit di tengah Covid-19 ini, Gulat mengatakan bahwa aktivitas petani perkebunan sawit di Riau pun sejauh ini masih normal dan tidak terdampak efek negatif pandemi.
Industri sawit juga diuntungkan oleh dukungan pemerintah yang menjaga agar produktivitas perkebunan tetap maksimal selama masa pandemi di Riau.

Adapun, sektor perkebunan telah lama menjadi salah satu penopang utama perekonomian Riau. Adapun 52% perkebunan sawit di Riau dikelola oleh petanipetani plasma dan petani mandiri. Petani plasma berjumlah sekitar 7% dari total petani di Riau, dan sisanya merupakan petani swadaya.

“Kami diskusi dengan pemerintah, akhirnya Gubernur Riau Syamsuar mengeluarkan SE kepada semua stakeholder dan korporasi sawit jangan sampai terganggu proses pengolahan pabrik kelapa sawit dan proses pengiriman buah dari kebun petani ke pabrik,” jelas Gulat.*

 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar