Regulasi

Transisi Blok Rokan antara Pertamina dan Chevron Mengalami Kendala

Ilustrasi pompa angguk. (Int)

JAKARTA - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebutkan diskusi transisi Rokan antara Pertamina dan Chevron Pacific Indonesia yang bersifat business to business (B to B) menemui kendala.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto bilang skema b to b memang menjadi fokus sejak awal ketika Pertamina ditunjuk sebagai kontraktor berikutnya. "Nah B to B masih menemui kesulitan, diskusi-diskusi sekarang mencari alternatif yang lain agar transisi bisa berjalan," ungkap Dwi ditemui di Jakarta.

Dwi menambahkan, transisi Rokan memang mendesak mengingat upaya menjaga produksi yang perlu dilakukan. Sebelumnya, SKK Migas mengusulkan salah satu skenario yakni dengan investasi oleh pihak PT Chevron Pacific Indonesia.

"Kami akan cari skenario lain, Chevron sendiri yang akan investasi. Sehingga di akhir proyek kami gimana mengkompensasi unrecovered cost sisa yang belum terkelola. Kami sedang menunggu proposal dari Chevron," terang Dwi, Februari silam.

Kendati demikian, rencana tersebut juga belum menemui titik terang. Dwi menambahkan, pihaknya juga masih menanti proposal dari Chevron seputar insentif apa yang dibutuhkan demi kelangsungan proses transisi Blok Rokan.

Dwi menjelaskan, sejatinya proses transisi bersifat b to b, namun tidak menutup kemungkinan untuk pemerintah terlibat dalam proses transisi. "Kalau b to b belum bisa jalan nanti governement yang mediasiin, apakah ini government to business (g to b) nanti kita jalankan atau gimana," terang Dwi.

Pertamina pun mulai mengambil ancang-ancang dengan menyiapkan skema cadangan jika tak bisa masuk lebih awal di Blok Rokan.

Direktur Hulu Pertamina Dharmawan Samsu bilang pihaknya sudah sempat menawarkan skema Join Drilling Agreement (JDA) pada Chevron namun belum ada kesepakatan yang dicapai. Untuk itu, Pertamina berencana menyiapkan skema lain demi menjaga produksi pada Blok Rokan.

"Opsi sekarang kita lebih memastikan kita punya kesiapan untuk melakukan pengeboran di Agustus 2021. Itu opsi paling dasar," terang Dharmawan di Jakarta.

Dharmawan menerangkan, opsi tersebut meliputi persiapan alat dan perlengkapan serta mematangkan rencana pengeboran jika nantinya Pertamina memang baru bisa masuk pada bulan Agustus tahun depan atau dengan berakhirnya kontrak Chevron pada Blok Rokan.

Dharmawan tak menampik kondisi tersebut membuat peluang penurunan produksi yang terjadi pada Blok Mahakam juga akan dialami pada Blok Rokan.

Pertamina memprediksi pengadaan alat akan memakan waktu setahun sehingga waktu yang ada dinilai cukup. Dharmawan menambahkan, Pertamina juga terus melakukan kajian untuk jumlah pengeboran sumur pada Blok Rokan demi mengejar angka produksi rata-rata 140 ribu barel per hari (bph).

"Itu jumlah sumurnya masih kita evaluasi ya karena yang menjadi dasar bukan berapa banyak jumlah sumur yang bisa dibor, tapi seberapa cepat kita bisa mengadakan perlengkapan dan peralatan yang dibutuhkan," jelas Dharmawan.

Asal tahu saja, sebelumnya Pertamina sempat menargetkan pengeboran sebanyak 72 sumur di Blok Rokan jika nantinya alih kelola terjadi. Bahkan Pertamina sempat berharap pengeboran sebanyak 20 sumur sudah bisa dilakukan pada tahun ini.

Dharmawan menilai jumlah tersebut memang angka referensi yang bagus, kendati demikian Pertamina berencana akan terus melakukan evaluasi setiap bulannya seputar rencana pengeboran sumur.

Meskipun telah menyiapkan skema lain, Dharmawan mengungkapkan upaya negosiasi masih terus dilakukan. "Jadi yang penting kita sekarang mempunyai kesiapan untuk melakukan hal tersebut. Tapi kita masih melakukan diskusi terus," ujar Dharmawan. (*)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar