Limbah sawit dijadikan energi alternatif. Itu dilakukan Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Caranya dengan mengembangkan mikroba lokal untuk menjadi supermikroba sebagai energi alternatif dengan rekayasa genetika.
Pengembangan mikroba lokal menjadi supermikroba bisa menghasilkan biorefineri. “Secara sederhana, biorefineri memiliki sifat yang sama dengan bahan bakar minyak,” jelas peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi Yopi, Rabu (4/10).
Dia menjelaskan, biorefineri yang dikembangkan dapat menjadi bahan bakar alternatif baru di Indonesia. Biorefineri berasal dari bahan mentah lokal dari industri pertanian, kehutanan, dan perkebunan.
“Biomassa ini, misalnya, berasal dari sisa industri kelapa sawit, tebu yang menghasilkan sisa-sisa daun, tandan kosong, dan batang tumbuhan,” kata Yopi.
Dalam pengolahan, biorefineri menghasilkan produk energi alternatif. Biorefineri membutuhkan mikroba untuk penguraian dalam bentuk rekayasa genetika. “Supermikroba kemudian menghasilkan enzim berupa bioetanol,” kata Yopi.
Dengan bahan biorefineri nonpati, harga produk alternatif bisa bersaing dengan bahan bakar minyak yang selama ini beredar di pasaran. Dalam melakukan penelitian, para peneliti tak sendiri. Mereka dibantu Pusat Penelitian Kimia dan Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia (UI).
“Salah satu fokus riset adalah pengembangan biorefineri terpadu dengan dasar pemanfaatan biomassa dari industri kelapa sawit dan tebu,” kata Yopi.