Politik

Kolom Djoko Su'ud Sukahar : Ini Titah Gaib Gunung Agung

Gunung Agung, Bali menggelegak. Jika tak ada aral melintang, dalam hitungan hari gunung itu bakal meletus. Dampak letusannya cukup destruktif. Nyawa melayang, harta benda terkorbankan, dan langit yang cerah bakal terlihat temaram. Letusan gunung ini di tahun 1963 bisa dipakai sebagai referensi. Jiwa yang hilang banyak, kerusakan tak terkira, dan berhari-hari langit dibuat gulita karena matahari tak mampu menembus tebalnya debu yang beterbangan di udara. Bahkan di Surabaya, Jawa Timur, debu tebal menutup jalanan. Genteng-genteng rumah penduduk tertimbun serpihan warna coklat tua itu. Dan selama berhari-hari gerimis debu itu membuat Kota Pahlawan terus dalam suasana di ambang petang. Menyikapi kemungkinan terburuk dari meletusnya Gunung Agung ini, pemerintah telah menyiapkan segalanya, untuk mengantisipasi kemungkinan jatuhnya korban jiwa. Arus pengungsian berjalan, sirene sebagai peringatan dipancang, dan mudah-mudahan tak lagi ada korban nyawa. Namun adakah letusan Gunung Agung ini hanya sekadar bencana alam? Dalam banyak kepercayaan, letusan gunung adalah tengara. Sinyal zaman yang bakal terjadi, dan sebuah telisik tentang zaman itu sendiri. Terus apa telisik, pesan, dan titah gaib dari kemungkinan meletusnya Gunung Agung ini? Sebelum menganalisis itu, rasanya perlu sedikit mengulang gambaran yang pernah saya tulis di kolomku di detik.com beberapa tahun lalu. Mitos gunung tidak hanya ada di Tanah Jawa. Di banyak daerah Indonesia, juga di dunia, semua gunung mendapat atribut sama. Dia dianalogikan sebagai area pemerintahan gaib, dan makna dari pesannya adalah sinyal agar manusia bersiaga, berjaga-jaga, bahwa tatanan mayapada bakal berubah. Itu terjadi pada Gunung Mutis di Pulau Timor, Gunung Rinjani di Pulau Lombok, Gunung Gamalama di Pulau Ternate, Gunung Karangetang di Pulau Halmahera, dan gunung-gunung lain yang tersebar di Nusantara. Di Gunung Rinjani, jika purnama tiba, maka laki perempuan dan anak-anak berduyun-duyun mendaki gunung ini. Mereka tidak mengambil rute gampang di Sembalun Lawang, tetapi melewati rute bahaya di Senaru. Rute ini hanya delapan jam dengan medan berat sampai di puncak Sangkareang. Dari puncak ini mereka bergelayut di batu-batu cadas. Turun menuju Segara Anak. Sebuah danau yang di tengahnya tersembul Gunung Barujari, anak Gunung Rinjani. Gunung dengan mitos Dewi Anjani, putri rupawan berilmu tinggi seperti tersurat dalam lontar Rengganis ini terus diuri-uri. Dan saat purnama tiba, ritus tabur mas itu tetap lestari. Ini sebagai bentuk ‘persahabatan’ manusia dan alam. Di Gunung Gamalama Ternate apresiasi terhadap gunung juga tak beda. Gunung yang memecah pulau Ternate yang luasnya hanya 12 kilometer ini punya danau yang dipercaya dihuni buaya putih. Buaya itu dianggap sebagai penjaga kedamaian alam setempat. Mereka yakin jika buaya diusik dan terusik, maka lahar Gamalama akan berubah arah tidak seperti biasanya. Lahar itu akan semburat seperti Rinjani, Bromo, Raung serta Gunung Agung, Bali yang menebar kemana-mana. Di Gunung Karangetang Pulau Halmahera mistisisme itu kian lekat lagi. Suku Tugutil yang berdiam di seputaran gunung ini sehari-hari menjalani hidup yang kental tradisi. Itu dari kelahiran, dewasa sampai kematian. Malah jika ada warga yang meninggal, untuk mengusir roh buruk yang disebut Gomanga, mereka melakukan ritus unik untuk pengusiran sebelum mengantar si mati ke tengah hutan. Sambil mabuk mereka membabat apa saja yang dijumpa, sehingga usai ritus kematian, maka tinggal ditotal berapa rumah dan pohon yang tumbang akibat mengantar si mati yang diikuti roh buruk itu. Dan di Pulau Timor yang dikangkangi Gunung Mutis samalah posisinya. Gunung ini juga diperlakukan sebagai area titah. Perubahan yang terjadi diasumsikan sebagai bagian dari pesan gaib untuk manusia. Berkat itu alam tetap lestari, terjaga, karena saling ‘menghormat’ antara alam dan manusia. Di Bukit Dirun, lereng Gunung Mutis, misalnya, sesaji tak sulit ditemukan. Area ini dipercaya sebagai pemakaman kuno. Makam terbentuk sebelum zaman es, dan jauh pra kawasan ini timbul dari dasar laut untuk menjadi daratan. Dan itu logis jika dilihat kontur dan stuktur tanah bukit ini yang berkarang-karang. Malah kalau kita menyusuri Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) kita tak sadar mengamini buku The Atlantis karangan Arysio Santos serta Eden The East karya Stephen Oppenheimer, bahwa Indonesia merupakan benua yang hilang, dan membuka kemungkinan Nabi Nuh itu berasal dari Indonesia. Sebab di daerah ini terdapat bukit yang disebut Fatu Kopa (Batu Kapal). Rakyat setempat pun meyakini, bahwa batu itu adalah kapal Nabi Nuh ! Mitos-mitos itu kian mendekati realitas tatkala dirujuk pada masalalu Pulau Seram. Di pulau ini terdapat Suku Naulu dan Suku Alifuru. Dalam Son of The Sun disebutkan, suku ini merupakan manusia awal dari sebuah peradaban yang hilang. Namanya pun menyuratkan itu. Alif adalah pertama. Dan uru adalah manusia. Dengan begitu Alifuru adalah manusia pertama. Mitos-mitos itu memang perlu disingkap misterinya. Itu agar tidak berubah menjadi dongeng yang kelak nglenik. Para sejarawan Indonesia dituntut untuk menguak segala mitos itu agar sejarah negeri ini tidak seperti sekarang, sejarah dongeng. Raja-raja yang pernah memerintah dianggap mokswa (hilang secara gaib) dan hanya serat serta babad yang bisa dijadikan rujukan untuk mengungkap sebuah awal. Pengalaman di lapangan menunjukkan, ilmuwan kita tak banyak turba. Entah karena malas atau takut oleh berbagai sebab, diantaranya sengsara. Sebab saat saya mendatangi Suku Boti (Pulau Timor) yang dikultuskan, penerjemah saya acap dihantui ‘takut kualat’. Memasuki Yot Tomat (Kepulauan Kei) diliputi rasa mencekam, mengunjungi Suku Naulu (Pulau Seram) takut dibunuh karena jika baileo (rumah adat) mereka rusak memang mewajibkan tumbal manusia. Dan ketika memasuki perkampungan Suku Tugutil (Pulau Halmahera) memang kesan menyeramkan itu tak terhindari. Malah untuk menguak Islam Wetu Telu di Pulau Lombok pun dibutuhkan nyali ekstra. Itu karena terpencar di Bayan (ritus keturunan Sunan Giri Prapen), di Mataram (Pura Lingsar), Sade dan Rambitan (tradisi dan masjid kuno), serta di Rambanbiak (Dasan Baru, Lombok Timur) pusat mistik Suku Sasak yang sekaligus tinggal intelektual sekte ini. Namun di balik kekurangan-kekurangan itu mitos mempunyai peran penting bagi lestarinya budaya bangsa. Tabu dan mistik memberi pengamanan terhadap terjaganya alam dan benda yang disakralkan. Tanpa itu, rasanya, hampir bisa ditebak kekayaan ini akan musnah ditransaksikan, seperti kata Fritjof Capra, Phd dalam The Turning Point yang melegenda itu. Maka, lepas kita suka atau tidak suka dengan tradisi dan budaya yang ada, tapi itulah diri kita, kekayaan kita, yang terasa indah jika kita menggaulinya dengan mesra. Itu adalah salahsatu sebab berbagai bangsa datang dan kagum dengan Indonesia. Terus bagaimana dengan pesan mistis dari gejolak Gunung Agung di Bali ini? Gunung Agung memang agung. Keagungannya lestari dijaga lingkungan dan masyarakatnya. Memasuki area ini terasa alam begitu gagah dan berwibawa. Hingga tidak bakalan ada yang menduga, bahwa di balik gelegar gunung ini terdapat sinyal sebuah era, masa transisi, yang dalam idiom Jawa disebut sebagai goro-goro. Dalam pewayangan, goro-goro itu adalah masa dimana lakon mendekati paripurna. Baik-buruk dibabar, kesalahan direvisi untuk menemukan pembenaran-pembenaran, dan itu sebelum klimaks cerita. Dinamisme yang terlalu dinamis ini yang kadang sulit untuk diterima batin. Maka secara politik maupun spiritual, kalau mungkin, Gunung Agung Bali diharap tidak meletus. Gelegak magma yang sudah mendekati permukaan kembali reda, dan kehidupan berangsur pulih seperti sediakala. Saat beginilah biasanya para sinkretis mengudar Kidung Rumekso Wengi, sedang yang lain diminta semakin berdekat-dekat dengan Tuhannya untuk kemaslahatan umat di negeri ini. Meletuskah Gunung Agung? Semoga saja tidak. Djoko Su’ud Sukahar


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar