Kisah Rombongan GAPKI Saat Beri Bantuan Bencana di Lombok

Selasa, 07 Agustus 2018

Kunjungan saya ke Lombok NTB kali ini dijadwalkan hanya sehari. Dengan penerbangan pertama GA 434, saya bersama dua Pengurus Pusat GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) didampingi dua orang staf, mendarat tadi pagi (Minggu/ 5 Agustus) di  Praya jam 8 pagi WITA. Kunjungan sehari ini adalah untuk menyerahkan bantuan dari GAPKI kepada para korban gempa Lombok Tengah beberapa waktu lalu.

Pagi itu cuaca Lombok sangat cerah dan panas. Dari bandara, kami langsung bertolak menuju lokasi gempa di Kabupaten Lombok Timur, tak jauh dari kaki Gunung Rinjani. Setelah menempuh perjalanan sekitar 4 jam, kami mulai memasuki wilayah Ring 1 daerah-daerah terdampak gempa. "Besar juga kerusakannya," batin saya.

Kami menyerahkan bantuan di tiga desa: Desa Obel-Obel,  Belanting, dan Kukuk Putik. Dari ketiga desa tersebut, kerusakan akibat gempa di Desa Kukuk Putik yang tampak paling parah. Banyak bangunan rumah, sekolah, dan Mushola yang roboh. Tenda-tenda penampungan sementara didirikan sepanjang jalan provinsi yang menembus kaki Gunung Rinjani. 

Kabupaten Lombok Timur tanahnya kering, tidak subur, dan kekurangan air. Dalam kondisi normal saja air susah didapat, apalagi saat terjadi bencana alam seperti sekarang.

Sekitar jam 16.00 WITA, seremoni penyerahan bantuan dari GAPKI selesai. Haji Imron Fauzi, Koordinator Posko NU Peduli yang mendistribusikan bantuan kami, mengajak kami sejenak untuk ngopi. Namun karena kondisi badan yang sudah sangat capek, kami pamit karena seharian sudah ada di jalan. Saya sendiri, malam sebelum ke Lombok, praktis hanya tidur dua jam. Jam 16.30 kami pun meninggalkan lokasi gempa untuk kembali ke Praya Lombok Tengah.

Kami mengambil rute berbeda saat kembali ke Praya, melintasi lereng Gunung Rinjani. Cuaca yang tadinya cerah dan panas, pelan-pelan berkabut dan gelap. Hujan mulai turun dan semakin deras hingga kami sampai pada puncak lereng tertinggi.

"Cuaca sering berubah seperti ini Pak. Dari panas tiba-tiba mendung dan hujan," kata Ahmad, driver kami. Udara di dataran tinggi Rinjani ini sangat dingin, kontras dengan jalur yang kita lewati saat berangkat tadi.

Jam 19.00 kami tiba di Kota Praya dan langsung menuju rumah makan ayam Taliwang khas NTB. Sajian ayam goreng dan sambal plencing, memang membuat siapa pun ketagihan. Nasi kedua siap saya taruh di piring, sebelum tiba-tiba meja makan kami berguncang keras. Atap rumah makan yang terbuat dari seng juga bergerak keras. 

Saya belum sadar dengan apa yang terjadi hingga saya mendengar teriakan,"Gempa Pak, gempa Pak," kata Arie, staf saya berteriak. Para pengunjung juga tampak semburat keluar. Tak pikir panjang, HP yang saya charge saya tarik dan langsung tari tunggang langgang. Belum juga sampai di halaman rumah makan, lampu tiba-tiba padam. Beberapa wanita yang panik terdengar istighfar, sebagian lainnya juga menyebut Asma Allah.

"Ada gempa lagi Pak, katanya lebih besar," kata seorang pelayan rumah makan. "Ada tsunami juga infonya."

Suasana panik menyelimuti kami. Mobil dan motor berlalu lalang seraya membunyikan klakson. Sekitar 15 menit, situasi mulai tenang meski informasi telah terjadi tsunami sudah didengar banyak orang.

Kami pun bergegas menuju hotel. Ahmad tancap gas, sesekali menenangkan kami. "Kalau tsunami di sini aman Pak, jauh dari laut. Keluarga kami yang sudah diminta mengungsi."

Tiba di hotel D Max Praya, halaman sudah sangat ramai. Para pengunjung berhamburan keluar, sebagian berdiri di lobi hotel. Beberapa petugas hotel tampak membersihkan bekas- bekas reruntuhan. Seperti ada tembok atau batu bata yang runtuh.

Di tengah kepanikan ini, HP saya terus berdering. Ada dari teman, wartawan, juga tentu saja istri dan anak-anak di Jakarta. Saya berusaha menguasai diri sendiri dulu sebelum benar-benar menganalisa situasi yang terjadi. Beberapa wisatawan asing tampak check out dan memilih meninggalkan hotel. Entah mereka pergi ke mana, toh semua di Lombok terdampak gempa.

"Kawan saya sedang surfing tadi, sekarang belum bisa dihubungi," kata Hanna, turis dari Belanda. Beberapa tamu hotel tampak sibuk dengan telepon menghubungi sanak-famili. 

Kondisi benar-benar tidak stabil selama hampir dua jam. Ada saat kami lagi asyik duduk di lobi, tiba-tiba ada guncangan lagi. Hingga akhirnya sekitar jam 22.00 WITA, BMKG mencabut peringatan tsunami dan menyatakan tidak terlihat potensi gempa susulan lagi.

Meski demikian, saya dan sebagian besar tamu hotel  memilih tidur di lobi. Ada yang di kursi sofa, di lantai, juga di kursi restaurant hotel. Hari Minggu (5 Agustus 2018) sekitar jam 19.30 WITA, gempa berkekuatan 7 SR kembali mengguncang perairan Lombok Timur, yang tak jauh dari perairan Bali. Kami, saya dan tiga kolega dari GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) bersyukur memutuskan segera turun ke Praya segera setelah acara penyerahan bantuan kepada korban gempa di Lombok Timur usai sekitar jam 16.00 WITA. 

Tidak bisa kami bayangkan seandainya kami bertahan lebih lama di sana. 
 "Ya Allah, aku berada di dekat pusat gempa." Selama hampir dua jam kami tercekat dalam rasa ketakutan yang sangat besar.

Ya Tuhan, ternyata kami manusia hanya seperti ini. Kau guncang sedikit saja bumi ini kami sudah panik ketakutan. Bagaimana kelak nanti ketika bumi ini dan segala isi dunia ini benar-benar mau Kau guncang-guncang sebagai tanda akhir kehidupan di dunia --seperti telah Kau peringatkan dalam banyak ayat di dalam Al Quran?  (Praya Lombok Tengah, 5 Agustus 2018). *

 

Oleh : Tofan Mahdi, Ketua Bidang Komunikasi GAPKI