CATATAN LEBARAN : Ayo Pulang Kampung

Senin, 11 Juni 2018

CATATAN LEBARAN (1) : Ayo Pulang Kampung

Tinggal beberapa hari lagi hari raya Idul Fitri tiba. Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia akan kehilangan roh. Jalanan yang semula macet tak lagi diperebutkan para pengendara. Dan jutaan warga yang semula membuat kota-kota besar sesak, tiba-tiba saja menjadi sirna. Warganya ramai-ramai mudik, entah pulang ke kampung di Jawa atau ke berbagai kota lain yang tersebar di Nusantara.

Liburan ini bagi kami merupakan hikmah. Bisa sejenak tenang di desa yang asri. Dan sambil bernostalgia, berusaha menggugah catatan diri untuk melakukan introspeksi.

Memang, liburan ini amat berharga bagi kami, pembaca. Itu setelah setahun penuh bekerja keras untuk memberikan informasi yang terbaik bagi Anda. Saat liburan itulah kami bisa melakukan katarsis. Mungkin, menurut istilah Dante Alighieri dalam Divine Comedy, liburan ini seperti porgatorio, penyucian, agar kita tidak terperosok ke dalam jurang inferno yang terlalu dalam.

Sebab siapa pun tak mengelak. Kendati fitri makna harfiahnya adalah kesucian dan ketelanjangan diri, tapi hanya berapa persen manusia yang mampu melakukan itu di tengah Kota Jakarta yang sangat dinamis ini?

Bandingkan, tiap sudut kota ini menawarkan berbagai kesenangan. Kesenangan duniawi yang merangsang mata, otak, hati, dan membangkitkan syahwat kita, yang secara relijiusitas sama artinya dengan menggiring jalan menuju 'neraka'.

Kesenangan yang sarat nafsu itulah yang ada di Jakarta. Ia telah menegasikan pikiran jernih dan keimanan. Akibatnya, tak terasa, hidup di Jakarta, lambat tapi pasti, semangat hedonisme telah menguasai phisik dan batin kita. Batin tenang yang dijaga spiritualitas tinggi ketika awal mula berangkat ke Jakarta, tiba-tiba tak ketahuan lagi bentuknya. Dia telah jauh mengambang di awang-awang.

Untuk itu, dalam liburan Idul Fitri ini berusaha menyendiri barang beberapa hari. Bisa istirah sejenak dari kesibukan, dan keluar dari putaran arus Kota Jakarta yang hiruk-pikuk dan terkesan tak manusiawi.

Di tengah suasana mudik itulah terbuka ruang untuk berkaca diri. Mengurai segala persoalan yang sudah terjadi, dan berharap kian arif dan sukses di masa mendatang. Selamat mudik, pembaca. Jangan lupa terus memanjatkan doa agar selamat sampai kembali ke Jakarta. (Djoko Suud Sukahar/bersambung)