Lingkungan

Gara-gara Karhutla, Diplomasi Kelapa Sawit Makin Runyam

Karhutla. (Int)

MATARAM - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) gerah dengan berulangnya kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) karena kian menyulitkan strategi diplomasi kelapa sawit Indonesia di luar negeri.

Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI, Juliari Peter Batubara mengakui sulitnya menangkis kampanye negatif produk kelapa sawit, terutama di benua Eropa. 

Menurut dia, diplomasi semakin bertambah sukar tatkala karhutla berskala cukup besar membara akhir-akhir ini.

“Orang-orang pelaku pembakaran lahan tak bisa dibilangin. Saya tidak ngomong baik-baik saja tentang kelapa sawit, tapi susah memang kalau berdiplomasi di Eropa,” katanya usai meninjau Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, Mataram, Lombok Tengah, Selasa (17/9/2019).

Di negara-negara Uni Eropa, kalangan legislator mengambil bagian dalam upaya memperburuk citra industri kelapa sawit Indonesia.

Pada April 2017, Parlemen Eropa meloloskan resolusi Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests yang merekomendasikan penyetopan impor kelapa sawit secara bertahap karena dituduh memicu deforestasi dan ekses negatif lainnya di sektor lingkungan, sosial, dan hak asasi manusia.

Lambat laun, eksekutif Uni Eropa pun mulai terpancing untuk mendiskriminasi kelapa sawit. Komisi Eropa memperbaharui Renewable Energy Directive (RED) pada Maret 2019 dengan target menihilkan penggunaan sumber energi berbahan kelapa sawit hingga 0 persen pada tahun 2030.

Juliari menilai upaya meyakinkan kolega parlemen di Eropa akan sia-sia bila fakta di Indonesia bertolak belakang. Di Tanah Air, aturan perundang-undangan telah melarang pembukaan lahan dengan cara membakar, tetapi pelaku masih mempraktikkannya untuk membuka areal perkebunan.

Seharusnya, tambah Juliari, pemerintah memberikan sanksi tegas kepada para pembakar lahan. Bila pelakunya adalah korporasi, semestinya tidak cukup sekadar memberikan teguran atau menyegel lahan.

“Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sanksi tegas saja, cabut izinnya. Kan takut,” ujarnya.

Juliari tambah menyesalkan pembakaran lahan apabila bermotif untuk memperluas perkebunan kelapa sawit. Ketimbang melakukan ekstensifikasi lahan, dia berpendapat seharusnya pelaku usaha kepala sawit Indonesia semakin serius menggarap hilirisasi.

Saat ini, kata dia, harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) semakin dibanderol murah. Sebaliknya, produk hilir kelapa sawit semisal oleokimia bernilai tambah lebih besar plus pasarnya masih terbuka lebar.

“Kalau sekarang, industri hilir kurang jalan, lahan juga terlalu luas,” tutur Wakil Bendahara Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Rabu (18/9/2019) pukul 09.00 WIB, titik panas di seantero Indonesia tercatat sebanyak 2.719 titik. Adapun, lahan terbakar dari Januari-Agustus seluas 328.724 hektara (ha) dan dipastikan membengkak karena belum memasukkan data September. (*)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar