Ekonomi

Ekspor Minyak Sawit Indonesia Tahun Ini Bisa Lampaui Tahun Lalu

Kelapa sawit. (Int)

JAKARTA - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan, ekspor minyak kelapa sawit dan turunannya tahun ini akan lebih tinggi dibandingkan ekspor tahun lalu yang sebesar 34,7 juta ton.

Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono mengatakan pihaknya optimistis kinerja ekspor sawit masih positif melihat kinerja ekspor hingga Juli masih positif. 

"Ini peningkatan ekspor bisa dilihat dari kinerja Juli yang masih naik," tutur Mukti, Selasa (17/9/2019). 

Namun sayang, Mukti tidak merinci berapa proyeksi ekspor sawit tahun ini. 

Lebih lanjut Mukti menjelaskan, peningkatan ekspor tahun ini bisa didorong dari peningkatan ekspor ke China dan India. Dia mengatakan, ekspor ke China meningkat diperkirakan karena adanya perang dagang antara China dan Amerika Serikat.

Sementara, ekspor ke India juga diperkirakan akan meningkat karena penyamaan tarif bea masuk CPO antara Indonesia dan Malaysia. 

"India tahun lalu bisa ekspor 6,7 juta ton. Sampai Juli sudah 2,5 juta ton hanya CPO belum termasuk biodiesel dan oleokimia. Kita harapkan bisa meningkat lagi dengan penyesuaian bea masuk," jelas Mukti.

Sementara itu, hingga Juli 2019 ekspor minyak kelapa sawit dan turunannya mencapai 19,76 juta ton, tumbuh 6,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 18,51 juta ton.

Mukti menjelaskan, meski terdapat tekanan pada produk minyak sawit Indonesia, tren ekspor ke China, Afrika dan Jepang dan negara lain masih mengalami kenaikan. "Ini menandakan upaya-upaya pemerintah melalui Kemendag untuk peningkatan ekspor memberikan dampak positif," katanya.

Meski dari sisi volume terdapat kenaikan, Mukti memperkirakan dari segi nilai akan ada sedikit penurunan dibandingkan tahun lalu. Harga rata-rata CPO CIF Rotterdam bulan Agustus memang mencapai US$ 541 per metrik ton atau rata-rata bulanan tertinggi sejak Maret 2019.

Meski begitu, harga minyak sawit ini masih menunjukkan tren yang menurun sejak Januari 2017. Tren penurunan harga ini sudah merisaukan produsen. Perang dagang Amerika Serikat dan China menyebabkan stok kedelai di Amerika Serikat meningkat, petani dan pemerintah Amerika diperkirakan akan mencari pasar pengganti China, sementara produsen minyak sawit akan menjual produk ke pasar karena tidak mampu menahan produksi.

Karena itu Gapki menilai, terobosan yang diambil pemerintah AS untuk mengurangi stok kedelai, keberhasilan China untuk menangani masalah flu babi Afrika dan melonjaknya harga daging babi, serta implementasi B20 dan B30 di Indonesia akan mempengaruhi keseimbangan minyak nabati dan akan berpengaruh pada harga minyak sawit ke depan. (*)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar