Ekonomi

Indonesia Siap Gugat Uni Eropa ke WTO

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution

JAKARTA-Sejalan dengan Malaysia, Pemerintah Indonesia juga sedang mempersiapkan diri untuk mengajukan gugatan kepada Uni Eropa melalui World Trade Organization (WTO). Langkah ini diambil. Setelah Komisi Eropa menyatakan bahwa minyak kelapa mentah kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) adalah produk tidak ramah lingkungan dalam skema Renewable Energy Directive II. 
 
Selain itu, Indonesia bersama sejumlah negara-negara penghasil sawit akan melakukan lawatan ke Uni Eropa, 7 April 2019 mendatang. Pemerintah akan menyampaikan posisi Indonesia kepada Parlemen UE atas keputusan Komisi UE terkait diskriminasi terhadap komoditas itu.

"Pemerintah menyampaikan keberatannya atas keputusan Komisi Eropa untuk mengadopsi Delegated Regulation yang mengklasifikasikan minyak sawit sebagai komoditas yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi," ujar Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution di sela-sela "Konferensi Pers Tentang European Union’s Delegated Regulation" di Jakarta, Senin, 18 Maret 2019.  
 
Menurut Darmin, langkah tersebut menjadi tindak lanjut kesepakatan dari "6th Ministerial Meeting Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC)" pada 28 Februari 2019, yang dihadiri tiga negara produsen terbesar minyak sawit dunia yaitu Indonesia, Malaysia, dan Kolombia. 
 
Ketiga negara sepakat memberikan tanggapan atas langkah-langkah diskriminatif yang muncul dari rancangan peraturan Komisi Eropa, yaitu Delegated Regulation Supplementing Directive 2018/2001 of the EU Renewable Energy Directive (RED) II. 
 
Dia menilai hal itu sebagai kompromi politis di internal UE yang bertujuan untuk mengisolasi dan mengecualikan minyak kelapa sawit dari sektor biofuel UE yang menguntungkan minyak nabati lainnya, termasuk rapeseed yang diproduksi negara-negara UE. 
 
Komisi Eropa telah mengadopsi Delegated Regulation no. C (2019) 2055 Final tentang High and Low ILUC Risk Criteria on biofuels pada 13 Maret 2019. Dokumen ini akan diserahkan ke Parlemen Eropa dan Dewan Eropa untuk melalui tahap scrutinize document dalam kurun waktu 2 bulan ke depan. 
 
Sebelumnya, Menteri Industri Primer Malaysia Teresa Kok juga sudah memberikan tanggapan resmi terhadap langkah UE, yang isinya menentang sepenuhnya keputusan yang diambil oleh Komisi Eropa.
 
"Negara-negara penghasil minyak kelapa sawit, termasuk Malaysia, telah secara konsisten menjelaskan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa Delegated Act tersebut didasarkan pada faktor-faktor yang tidak akurat dan diskriminatif,” ungkapnya dalam keterangan resmi, Jumat, 15 Maret 2019 yang lalu.(rdh/bc) 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar