Ekonomi

Utang BUMN Naik Lebih Cepat Dibanding Swasta

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Suharso Monoarfa

JAKARTA— Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Suharso Monoarfa, menilai kecepatan pertambahan utang ini menunjukkan bahwa kinerja dan ekspansi usaha swasta masih kalah bergeliat dibandingkan BUMN. Dengan demikian, dorongan kepada pihak swasta pada tahun depan sangat diperlukan.

 

Dia menjelaskan kinerja swasta saat ini cenderung tumbuh stagnan. Untuk itu, pada tahun 2019 diharapkan ada dorongan lebih dari pemerintah kepada pihak swasta agar usahanya bergeliat.

"Kecepatan pertambahan utang itu lebih banyak di BUMN, swasta cenderung flat. Ini harusnya kita koneksi di 2019," kata Suharso di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut dia, bidang usaha di sektor swasta yang paling bergeliat saat ini adalah di bidang properti. Sebab, sudah bertahan-tahun penggerak utama sektor swasta adalah sektor properti.

Dia mengemukakan, peran swasta dalam kinerja ekonomi sangat penting karena akan menggerakkan usaha di sektor lainnya, misalnya seperti usaha di sektor material untuk pembangunan properti. Ia pun mencontohkan untuk membangun rumah sederhana membutuhkan Seratusan komponen.

"Kalau rumah agak sedikit mewah, itu makin banyak bisa 10 kali lipat. Lihat saja cat bisa macam-macam, interior bisa macam-macam, tile bisa macam-macam. Enggak mungkin juga pabrik bisa berjalan tanpa ada permintaan," katanya.

Ia pun berharap, 2019, geliat sektor swasta bisa lebih kelihatan. “Mudah-mudahan tahun 2019 itu menggeliat. Ada permintaan,” ujarnya.

Sebelumnya, polemik utang BUMN juga sempat dikritik oleh Mantan Sekretaris Menteri BUMN, Said Didu. Dia mempersoalkan kenaikan utang BUMN sebesar Rp 2.000 triliun. Menurutnya, tingginya peningkatan utang BUMN itu tidak terkolerasi dengan meningkatnya pendapatan secara signifikan. Hal itu terjadi khususnya pada periode 2016 hingga 2017.

Said Didu yang pernah menjabat Sekretaris Menteri BUMN Periode 2004-2012 itu menjelaskan pada 2016, utang BUMN tercatat meningkat lebih dari Rp2.000 triliun hingga 2017, yakni dari Rp3.281 triliun menjadi Rp5.252 triliun. Sementara untuk revenuenya atau pendapatan, naiknya hanya sebesar Rp100 triliun, yakni dari Rp1.969 triliun periode sama.

"Kalau tambah utang naik, revenue-nya harus naik dong, kalau enggak ada masalah. Kualitas apa utang itu? Kok revenue-nya segitu, ada yang bilang siapa tahu bangun pabrik, enggak. Jadi saya enggak tahu utang Rp2.000 triliun itu ada di mana sekarang dan untuk apa," katanya di Jakarta.(*/dry)

 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar