Lingkungan

Bojonegoro Punya Batik Jonegoroan Lho

Beberapa tahun sebelumnya Bojonegoro tak punya batik. Kalaupun ada, hampir dipastikan itu buatan Solo atau Pekalongan. Dua daerah itu memang menjadi kiblat batik, busana tradisional Indonesia. Bojonegoro baru punya batik sejak lima tahun lalu. Batik khas itu diberi nama Batik Jonegoroan.

Sejak memiliki batik khas, sebagian besar warga Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur memilih Batik Jonegoroan daripada batik asal daerah lain. Ada 14 motif pilihan, diantaranya Gatra Rinonce, Jagung Miji Emas, Mliwis Mukti, Parang Dahana Munggal, Parang Lembu Sekar Rinambat, Pari Sumirat, dan Ranca Thengul. Motif-motif tersebut dijamin berbeda dengan motif batik di daerah lain.

Tak terlalu sulit menemukan busana tradisional yang menjadi kebanggaan masyarakat Bojonegoro ini. Ada beberapa sentra pembuatan dan puluhan outlet yang menjajakan Batik Jonegoroan. Satu diantaranya yang cukup dikenal adalah Sentra Batik di Kecamatan Dander milik Yoyok Handoyo.

Diceritakan Yoyok, lahirnya Batik Jonegoroan tak terlepas dari pemikiran kreatif istri bupati Kabupaten Bojonegoro, Dra Hj. Mahfudhoh, Msi. Pada 2009 silam, dia menggagas digelarnya lomba kreasi motif batik. Dari sekian banyak hasil karya, terpilih sembilan motif yang dianggap sesuai dengan karakteristik Bojonegoro. Semua motif itu terus digunakan hingga sekarang. Pada perjalanannya, ditambah lima motif baru lainnya.

Yoyok menangkap adanya peluang dan potensi terkait lahirnya Batik Jonegoroan. Eny Kusnuryati, Istri Yoyok mengikuti pelatihan membuat batik yang diadakan Bidang PNFI Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat. Instrukturnya adalah para master batik dari Solo. Merasa cukup mampu membuat batik, Yoyok dan istrinya tak langsung praktik. Dia mentransformasikan terlebih dulu ilmu yang diperolehnya kepada sejumlah warga Kecamatan Dander. Selanjutnya, barulah dia beraksi.

Proses sejak pembelian bahan baku, pembuatan, hingga pemasaran, dilaksanakan secara intensif. Hasilnya, Yoyok da istrinya mendapat penghargaan Sindo Award pada 2011 lalu. Pasangan ini dinilai berhasil dalam upaya meningkatkan kesejahteraan warga melalui UMKM. Sebuah kebanggaan tersendiri bagi Eny yang menerima penghargaan langsung dari Menteri Koperasi dan UMKM, yang saat itu dijabat Syarifuddin Hasan, “Tak terbayangkan sebelumnya,” kata Eny.

Meraih penghargaan dari lembaga cukup ternama, kata Yoyok, memang menjadi sebuah kebanggaan, “Bukan saja bagi saya, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Bojonegoro,” tutur Yoyok. Tak heran jika Bupati Bojonegoro H Suyoto turut merasa bangga. Dia turut mempromosikan Batik Jonegoroan melalui Dekranasda setempat. Caranya, dengan mengikuti berbagai pameran, “Dengan demikian, kita berharap Batik Jonegoroan dikenal bukan hanya di kabupaten ini, tetapi juga di luar daerah,” tandas bupati.

Bupati optimistis Batik Jonegoroan akan go national, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa batik merupakan warisan budaya Indonesia yang terus digemari, “Saya yakin para pengrajin Batik Jonegoroan tahu bagaimana agar batik ciri khas Bojonegoro ini berkembang bukan hanya di kabupaten ini, tetapi ke daerah lain,” imbuh dia.

Dalam memproduksi Batik Jonegoroan, Yoyok mengajak sebelas orang warga di sekitar rumahnya untuk turut terlibat. Untuk menjaga kualitas dan agar tak mandek dalam berinovasi, ayah satu anak ini harus menghadirkan pebatik handal dari Solo ke rumahnya yang sekaligus dijadikannya sebagai workshop, “Saya mengundang pebatik dari Solo untuk menularkan ilmunya kepada ibu-ibu. Untuk keperluan itu, pebatik tersebut menginap di sini selama seminggu,” tutur Yoyok.

Yoyok tak main-main berupaya mengembangkan Batik Jonegoroan. Ke depan, dia punya obsesi ingin menjadikan Dander sebagai Kampung Batik, “Saya ingin di kecamatan ini tumbuh pengrajin- pengrajin batik. Saya ingin Kecamatan Dander identik dengan usaha batik,” harapnya. Untuk mencapai ke arah itu, diakui Yoyok, memang perlu waktu, “Saat ini jumlah pengrajin memang belum mencapai angka ideal,” ujar pria kelahiran 2 April 1980 ini. Sebagai langkah awal, akses jalan menuju rumahnya dinamakan Gang Batik.

Yoyok tak lantas puas dengan sepak terjangnya. Diakui Yoyok, dalam pelaksanaannya dia masih terbentur beberapa kendala. Diantaranya soal pemasaran dan promosi. Yoyok menilai pemasaran dan promosi Batik Jonegoroan agar bisa ekspansi ke luar daerah belum dilakukannya secara optimal, “Perlu biaya besar,” katanya memberi alasan. Selain itu, imbuh dia, adalah soal kreasi yang dinilainya masih terbatas.

Untuk itu, Yoyok tetap mengajak para pebatik binaannya tak henti menggali inovasi dan mentransformasi ilmu dari para pengrajin batik kawakan. Kendala lain, adalah masalah klise, yakni keterbatasan sarana dan prasarana yang digunakan untuk pembuatan batik, dari proses awal hingga finishing. Menurut Yoyok, kondisi ini sangat disayangkan.

“Padahal yang kami rasakan, semakin hari permintaan semakin tinggi,” ujarnya. Permintaan meninggi pada moment-moment tertentu. Misalnya pada saat menghadapi hari raya dan musim penerimaan siswa baru, “Biasanya peningkatan permintaan mencapai hingga tiga kali lipat,” jelas dia.

Soal promosi yang dilakukan, saat ini Yoyok masih mengandalkan teknologi informasi melalui dunia maya, “Media sosial sangat efektif untuk ajang promosi,” tandasnya. Maka, Yoyok pun membuat blog dan akun facebook. Isinya? Tentu saja tentang seluk beluk Batik Jonegoroan, “Saya sangat merasakan manfaatnya. Ya, tinggal tunggu waktu hingga akhirnya Batik Jonegoroan dikenal luas oleh masyarakat Indonesia,” kata Yoyok optimistis.Tatang Budimansyah


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar