Pernah pergi ke Pulau Sumbawa? Kalau pernah, sempatkan barang sejenak ke pulau terpadat di dunia itu. Pulau ini tak jauh dari Pelabuhan Alas, sebab pulau ini masuk desa itu. Banyak keunikannya lho.
Pulau ini unik. Dulu tidak sepadat sekarang. Hanya pulau mungil yang terserak jauh dari pantai. Tapi kini pulau itu semakin padat. Terdiri dari rumah-rumah panggung, yang letaknya pun kian dekat dengan pantai, dan sudah dibuatkan jalan penghubung.
Pulau ini dihuni berbagai suku. Ada Bugis, Bajo, Madura, Jawa, Gorontalo, Ternate, dan masih banyak lagi. Saking banyaknya suku, maka mereka pun sepakat untuk memilih bahasa suku setempat sebagai ‘bahasa nasionalnya’. Dan bahasa Bajo yang dijadikan bahasa pemersatu itu.
Semua penghuninya adalah nelayan. Mengadu untung dari lautan. Itu karena tidak ada tanah bersisa, semuanya menjadi bangunan rumah. Pohon pun tak tampak. Apalagi rumput dan semak.
Lahan-lahan yang ada juga multi fungsi. Sebagai halaman rumah, sekaligus tempat untuk penjemuran. Bukan untuk menjemur pakaian, tetapi untuk menjemur hasil laut yang mereka dapat. Ikan dan sejenisnya.
Sudah kondisi seperti itu, ada juga nelayan yang merawat ternak kambing. Karena tidak ada rumput, kambing-kambing itu juga makan ikan dan apa saja yang bisa dimakan agar hidup. Jangan kaget jika kertas pun disantapnya.
Pulau ini padat memang bukan tanpa sebab. Pulau ini hanya mungil, tetapi penduduknya kawin-mawin. Maka kesepakatan adat pun dibuat. Bagi yang berkeluarga, diwajibkan untuk membuat rumah. Terus didirikan dimana?
Mereka pun tidak kurang akal. Nelayan itu melaut mencari ikan sambil pulang membawa karang. Karang-karang itu disusun di bibir pantai, dan jadilah lahan baru untuk mendirikan rumah. “Kalau tidak begini mana bisa kita hidup. Rumah kita sudah kecil, masih ada anak pula,” Ahmad (55) pada Djoko Su’ud Sukahar yang menemuinya.
Jika ingin mendapatkan sensasi, bermalamlah di pulau ini. Sore tiba, nelayan pulang dari melaut. Berbagai ikan dibawa, juga teripang-teripang raksasa. Di bibir pantai yang sudah berubah menjadi tumpukan karang itu para nelayan bersama istrinya bersibuk ria. Membakar ikan untuk esoknya dijual di pasar ikan Sumbawa. Juga membakar teripang sebesar paha itu agar airnya hilang tinggal menyisakan dagingnya.
Sore di Pulau Bungin, asap membubung dari mana-mana. Asap itu mengundang selera. Ikan mereka enggan dibeli untuk santap makan. Dan seminggu saja di pulau ini, rasanya butuh lauk lain selain ikan. Bosan juga ternyata.
Terus apa souvenir yang bisa dibeli dari pulau ini? Jika masuk rumah-rumah penduduk, maka ada yang mereka koleksi. Itu adalah cangkang penyu besar yang banyak digantung hampir saban rumah. “Kalau mau bawa saja nggak usah dibeli. Nanti kita cari lagi,” kata Kadir (34) yang disambangi.
Maka sebagai tali asih, kita mengkira-kira sendiri harus membayar berapa. Itu yang membuat mereka sukacita. jss