Kalangan pelaku industri biodiesel mengapresiasi kebijakan Pemerintah Tiongkok yang menerapkan program biodiesel campuran 5% dengan solar atau B5. Penggunaan biodiesel di Tiongkok menjadi pasar potensial untuk meningkatkan ekspor produk sawit Indonesia terutama biodiesel.
“Pemakaian B5 di Tiongkok akan menciptakan kebutuhan minyak sawit (CPO) sebesar 9 juta ton. Kalau Tiongkok sudah terapkan B5, nggak peduli lagi kita (ekspor) dengan Eropa dan Amerika Serikat,” kata MP Tumanggor, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI), dalam keterangannya, Jumat (9/6/2017).
Angka permintaan 9 juta ton ini berasal dari perhitungan kebutuhan bahan bakar solar Tiongkok sebesar 180 juta Kl. Apabila dikalikan 5% sama dengan 9 juta Kl atau setara 9 juta ton. Tahun lalu, ekspor produk sawit Indonesia keTiongkok mencapai 3,8 juta ton.
Sahat Sinaga, Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, menyebutkan delegasi Indonesia akan berkunjung ke Tiongkok sebagai tindak lanjut pembicaraan Presiden Joko Widodo dan Presiden Republik Rakyat Tiongkok, Xi Jinping. “Delegasi diperkirakan berangkat tanggal 16 Juni yang dipimpin Menko Maritim Luhut Panjaitan,” ujar Sahat.
Sebelumnya, dalam pertemuan Belt and Road Forum for International Cooperation di Beijing, Tiongkok pada pertengahan Mei 2017, Presiden Joko Widodo menyebutkan, bahwa Pemerintah Indonesia menyambut baik program mandatori biodiesel 5% yang dikembangkan Tiongkok. Sebab program ini akan membutuhkan pasokan minyak kelapa sawit yang akan meningkat sepanjang tahun. “Indonesia siap memasok kebutuhan CPO (crude palm oil) ke Tiongkok lebih banyak,” kata Jokowi.
Tingginya permintaan CPO maupun biodiesel dari Tiongkok dapat menutupi lesunya penjualan ke Amerika Serikat dan Uni Eropa. Sahat Sinaga menjelaskan, semenjak tahun 2016 ekspor biodiesel ke Amerika Serikat tidak lagi kompetitif karena pemberlakuan tariff bea masuk. Apalagi pasca keluarnya Amerika dari kesepakatan COP21. Ini berarti pemerintahan Donald Trump tidak punya kewajiban mencampur biodiesel.
“Ekspor biodiesel terus menurun ke USA dan Eropa. Penyebabnya sama-sama ada bea masuk tambahan,” ujar Sahat.
Fakta lainnya adalah kebijakan anti-dumping Amerika Serikat yang dialamatkan kepada produk biodiesel Indonesia. MP Tumanggor mengakui, ekspor biodiesel ke Amerika Serikat terus tertekan akibat tuduhan dumping dan subsidi. Tak hanya itu, harga jual semakin tidak kompetitif lantaran pengenaan bea masuk.
“Kalau tetap menjual ke Amerika Serikat, harganya tidak akan masuk. Itu akibat bea masuknya cukup tinggi,” jelas Tumanggor.
Itu sebabnya, menurut Sahat, pelaku industry mendorong penerapan program B5 di Tiongkok. Pelaku industry ingin menawarkan skema kerja sama, misalkan pengusaha Tiongkok mendirikan pabrik biodiesel di Indonesia. Produsen biodiesel Indonesia yang bangun pabrik di Tiongkok, selanjutnya bahan baku dari Indonesia. “Nanti bea masuk CPO gimana, tergantung juga. Misalkan harga mau dipatok sama, tergantung kerjasamanya,” pungkas Sahat. Bel